Pengertian Hukum
Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hokum dalam masyarakat.oleh Karena itu setiap masyarat berhak intuk mendapat pembelaan didepan hukum sehingga dapat di artikan bahwa hukum adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi bagi pelangarnya.
Tujuan Hukum
Dengan adanya HUkum di Indonesia maka tiap perkara dapat di selesaikan melaui proses pengadilan dengan prantara hakim berdasarkan ketentuan hokum yang berlaku,selain itu Hukum bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri.
Sumber-sumber Hukum
Sumber hokum dapat di lihat dari segi :
1. Sumber-sumber hokum Material
2. Sumber-sumber hokum formal yaitu :
1. Undang-undang (statute)
2. Kebiasaan (costum)
3. Keputusan-keputusan hakim
4. Traktat (treaty)
5. Pendapat Sarjana hokum (doktrin)
Kondifikasi Hukum
Adalah pembukuan jenis-jenis hokum tertulis dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap.
Dari segi bentuknya hukum di bagi dua,
1. Hukum tertulis
2. Hukum tak tertulis
Kaidah atau Norma
Tujuan Norma adalah untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik aman dan tertib. Contoh jenis dan macam norma :
1. Norma Sopan Santun
2. Agama
3. Hukum
Pengertian ekonomi
Menurut M.Manulang ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari masyarakat dalam usahanya untuk mencapai kemakmuran. Istilah ekonomi berasal dari nahasa Yunani, Oikos berarti rumah tangga,dan Nomos berarti aturan.
Adapun ilmu ekonomi di bagi menjadi 3,yaitu :
1. Deskriptif
2. Teori
* Ekonomi Mikro
* Ekonomi Makro
1. Terapan
Hukum Ekonomi
Adalah suatu hubungan sebab akibat pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang lainya dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat.
Adanya hokum ekonomi di latar belakangi oleh semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan perekonomian.
Hukum ekonomi di bagi menjadi 2 yaitu:
1. Hukum ekonomi pembangunan
2. Hukum ekonomi sosial
Senin, 18 April 2011
Produk Hukum Belum Dukung Percepatan Ekonomi
Yogyakarta - Ekonom dari Universitas Gadjah Mada Anggito Abimanyu menilai lambatnya percepatan perkembangan ekonomi di Indonesia salah satunya disebabkan oleh lambatnya pembuatan produk hukum.
"Padahal, ekonomi tidak bisa bekerja sendiri tanpa produk hukum dan juga politik, tetapi sayangnya, perkembangan ekonomi selalu lebih cepat dibanding pembuatan produk hukumnya. Inilah sebabnya, percepatan ekonomi di Indonesia tidak bisa berlangsung dengan cepat," ucapnya.
Anggito mengemukakan itu, saat menjadi pembicara Seminar Nasional Membangun Indonesia Bermartabat dan Berkeadilan yang diselenggarakan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Yogyakarta, Rabu (23/2).
Salah satu contoh tentang lambatnya percepatan pembangunan ekonomi akibat tidak adanya produk hukum yang mendukung bisa dilihat di Provinsi DIY, misalnya, Peraturan Daerah tentang Bank Pembangunan Daerah (BPD) DIY yang masih menyatakan bahwa bank tersebut berbentuk perusahaan daerah.
"Di Jakarta, juga ada Bank DKI yang telah dimiliki oleh publik. Ini yang membuat bank tersebut bisa berkembang sangat cepat, dan mampu mendorong percepatan perekonomian di daerah tersebut," ujarnya.
Pembuatan sebuah produk hukum, lanjut dia, bisa memerlukan waktu yang sangat lama yaitu hingga lebih dari satu tahun sehingga pada saat undang-undang tersebut disahkan, kondisinya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Oleh karena itu, ia berharap, adanya sebuah lembaga politik yang bisa mendukung percepatan perkembangan perekonomian di Indonesia yang pada akhirnya bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Meskipun berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), lanjut dia, pendapatan nasional bruto penduduk di Indonesia telah mencapai Rp27 juta per tahun atau Rp2,3 juta per bulan, namun masih ada cukup banyak penduduk di Indonesia yang memiliki pendapatan kurang dari Rp1 juta.
Selain itu, tantangan percepatan perekonomian lain di Indonesia adalah menciptakan lapangan kerja untuk bisa menyerap tenaga kerja yang jumlahnya semakin banyak, serta menghadapi globalisasi ekonomi di masa yang akan datang.
Industrialisasi di Indonesia, menurut Anggito, belum bisa menyerap seluruh tenaga kerja yang ada karena pertumbuhannya sangat minim.
"Yang justru terjadi saat ini adalah de-industrialisasi, pertumbuhannya hanya kurang dari lima persen per tahun. Ini sangat kecil. Bagaimana jika pemerintah membangun industri yang kuat untuk menyerap tenaga kerja yang ada di Indonesia," katanya, menegaskan.
Perdagangan global di tingkat ASEAN pada 2015 dan perdagangan global dunia pada 2020 harus dipersiapkan dengan matang agar Indonesia tidak kalah dalam perdagangan bebas tersebut, karena pada saat yang bersamaan Indonesia juga membangun desentralisasi ekonomi yang sangat terkait dengan perlindungan.
"Integrasi perdagangan itu adalah hal yang baik, tetapi berarti akan terjadi hilangnya suatu kebangsaan ekonomi dan risiko `kalah` akan cukup besar," ujarnya.
Oleh karenanya, lanjut dia, perlu dibangun sebuah ekonomi yang kuat agar Indonesia bisa bertahan dalam persaingan ekonomi global tersebut.(ant/yan)
DISUNTING DARI http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/23565-produk-hukum-belum-dukung-percepatan-ekonomi
post by Asthie anak MAMA di 03:08:00 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz
Link ke posting ini
Reaksi:
HUKUM SECARA UMUM SEBUAH PERUSAHAAN
HUKUM SECARA UMUM SEBUAH PERUSAHAAN
Deskripsi :
merupakan pendukung hak dan kewajiban. dalam hal ini manusia pribadi (natuurlijk persoon)dan badan hukum (rechtspersoon).badan hukum agar dapat menjalankan fungsinya sebagai rechtpersoon, pertama, para pendiri harus mendirikan badan hukum, berdasarkan akta pendirian badan hukum yang dibuat dihadapan notaris, akta mana mencakup pula anggaran dasar dari badan hukum yang bersangkutan. kedua, para pendiri dan direksi harus mendapatkan pengesahan atas akta pendirian tersebut dari menteri kehakiman (sekarang menteri hukum dan perundang-undangan). ketiga, setelah mendapat surat pengesahan dari menteri kehakiman, direksi mendaftarkan (beserta akta pendirian) tersebut dalam daftar perusahaan pada kantor pendaftaran perusahaan dimana badan hukum tersebut berdomisili untuk mendapatkan tanda daftar perusahaan, dan mengumumkan akta pendirian dalam tambahan berita negara.
"Padahal, ekonomi tidak bisa bekerja sendiri tanpa produk hukum dan juga politik, tetapi sayangnya, perkembangan ekonomi selalu lebih cepat dibanding pembuatan produk hukumnya. Inilah sebabnya, percepatan ekonomi di Indonesia tidak bisa berlangsung dengan cepat," ucapnya.
Anggito mengemukakan itu, saat menjadi pembicara Seminar Nasional Membangun Indonesia Bermartabat dan Berkeadilan yang diselenggarakan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Yogyakarta, Rabu (23/2).
Salah satu contoh tentang lambatnya percepatan pembangunan ekonomi akibat tidak adanya produk hukum yang mendukung bisa dilihat di Provinsi DIY, misalnya, Peraturan Daerah tentang Bank Pembangunan Daerah (BPD) DIY yang masih menyatakan bahwa bank tersebut berbentuk perusahaan daerah.
"Di Jakarta, juga ada Bank DKI yang telah dimiliki oleh publik. Ini yang membuat bank tersebut bisa berkembang sangat cepat, dan mampu mendorong percepatan perekonomian di daerah tersebut," ujarnya.
Pembuatan sebuah produk hukum, lanjut dia, bisa memerlukan waktu yang sangat lama yaitu hingga lebih dari satu tahun sehingga pada saat undang-undang tersebut disahkan, kondisinya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Oleh karena itu, ia berharap, adanya sebuah lembaga politik yang bisa mendukung percepatan perkembangan perekonomian di Indonesia yang pada akhirnya bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Meskipun berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), lanjut dia, pendapatan nasional bruto penduduk di Indonesia telah mencapai Rp27 juta per tahun atau Rp2,3 juta per bulan, namun masih ada cukup banyak penduduk di Indonesia yang memiliki pendapatan kurang dari Rp1 juta.
Selain itu, tantangan percepatan perekonomian lain di Indonesia adalah menciptakan lapangan kerja untuk bisa menyerap tenaga kerja yang jumlahnya semakin banyak, serta menghadapi globalisasi ekonomi di masa yang akan datang.
Industrialisasi di Indonesia, menurut Anggito, belum bisa menyerap seluruh tenaga kerja yang ada karena pertumbuhannya sangat minim.
"Yang justru terjadi saat ini adalah de-industrialisasi, pertumbuhannya hanya kurang dari lima persen per tahun. Ini sangat kecil. Bagaimana jika pemerintah membangun industri yang kuat untuk menyerap tenaga kerja yang ada di Indonesia," katanya, menegaskan.
Perdagangan global di tingkat ASEAN pada 2015 dan perdagangan global dunia pada 2020 harus dipersiapkan dengan matang agar Indonesia tidak kalah dalam perdagangan bebas tersebut, karena pada saat yang bersamaan Indonesia juga membangun desentralisasi ekonomi yang sangat terkait dengan perlindungan.
"Integrasi perdagangan itu adalah hal yang baik, tetapi berarti akan terjadi hilangnya suatu kebangsaan ekonomi dan risiko `kalah` akan cukup besar," ujarnya.
Oleh karenanya, lanjut dia, perlu dibangun sebuah ekonomi yang kuat agar Indonesia bisa bertahan dalam persaingan ekonomi global tersebut.(ant/yan)
DISUNTING DARI http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/23565-produk-hukum-belum-dukung-percepatan-ekonomi
post by Asthie anak MAMA di 03:08:00 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz
Link ke posting ini
Reaksi:
HUKUM SECARA UMUM SEBUAH PERUSAHAAN
HUKUM SECARA UMUM SEBUAH PERUSAHAAN
Deskripsi :
merupakan pendukung hak dan kewajiban. dalam hal ini manusia pribadi (natuurlijk persoon)dan badan hukum (rechtspersoon).badan hukum agar dapat menjalankan fungsinya sebagai rechtpersoon, pertama, para pendiri harus mendirikan badan hukum, berdasarkan akta pendirian badan hukum yang dibuat dihadapan notaris, akta mana mencakup pula anggaran dasar dari badan hukum yang bersangkutan. kedua, para pendiri dan direksi harus mendapatkan pengesahan atas akta pendirian tersebut dari menteri kehakiman (sekarang menteri hukum dan perundang-undangan). ketiga, setelah mendapat surat pengesahan dari menteri kehakiman, direksi mendaftarkan (beserta akta pendirian) tersebut dalam daftar perusahaan pada kantor pendaftaran perusahaan dimana badan hukum tersebut berdomisili untuk mendapatkan tanda daftar perusahaan, dan mengumumkan akta pendirian dalam tambahan berita negara.
Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia
Syariah_ekonomiPenduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam nampaknya belum begitu familiar dengan ekonomi syariah, oleh karena itu pemerintah kini sedang gencar-gencarnya menyerukan tentang ekonomi syariah salah satunya yaitu asuransi syariah yang kini digalakkan. Padahal, sebenarnya ekonomi syariah lebih pro ekonomi riil. Hal ini tentunya, sangat bermanfaat khususnya bagi UKM yang sangat membutuhkan kepastian hukum dan tentunya bantuan modal. Hal ini terbukti bahwa penerapan ekonomi syariah lebih handal ketimbang ekonomi konvensional pada krisis moneter tahun 2007 lalu. Bank dengan ekonomi syariah terbukti mampu tetap kokoh berdiri ditengah krisis. Hal ini bisa terjadi karena prinsip ekonomi syariah yang mengharamkan Riba, Judi, Dholim (aniaya), Gharar (penipuan), Barang Haram, Maksiat, Risywah (suap) dan prinsip bagi hasil terbukti lebih menguntungkan. Produk lain dari ekonomi syariah adalah reksadana syariah dan obligasi koorporasi syariah yang baru diperkenalkan.
Hukum ekonomi syariah sebagai bagian dari hukum atau syariah Islam yang berkembang di berbagai bagian dunia, termasuk di Indonesia, merupakan penggabungan antara hukum ekonomi konvensional yang telah melalui transformasi proses Islamisasi hukum oleh para ahli ekonomi Islam ditambah dengan fiqh mu'amalat konvensional yang berakar panjang dalam sejarah Islam. Tidak mengherankan bila bidang ini masih merupakan suatu yang baru bagi negara-negara berpenduduk muslim, terutama, karena minimnya peraturan perundang-undangan negara yang mendukung dan praktek peradilan.
Hukum materil ekonomi syariah di Indonesia pada umumnya baru tersedia dalam bentuk fiqh para fuqaha' atau fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) secara khusus, yang sebagiannya telah menjadi Peraturan Bank Indonesia melalui upaya positivisasi fatwa. Mengisi kekosongan perudang-undangan dalam bidang ini bagi kepentingan penyelesaian sengketa di pengadilan, maka Mahkamah Agung RI telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). KHES terdiri dari 4 Buku, masing-masing tentang Subyek Hukum dan Amwal, Akad, Zakat dan Hibah, dan Akutansi Syariah. Diharapkan pemerintah dan DPR RI dapat mengambil inisiatif di masa depan untuk mengembangkan KHES menjadi Kitab Undang-Undang Ekonomi Syariah melalui produk perundang-undangan.
Langkah lain yang perlu juga diambil di masa depan adalah mendirikan Lembaga Fatwa Negara dengan meningkatkan status DSN/Mejelis Fatwa MUI menjadi Lembaga Fatwa Negara berdasarkan undang-undang dengan kedudukan sejajar, misalnya, dengan Kantor Mufti di negara tetangga Malaysia, bahwa bila fatwa yang diterbitkannya disiarkan dalam lembaran negara maka mempunyai kekuatan yang sama dengan undang-undang.
Dalam bidang ekonomi syariah juga telah terbit perundang-undangan tentang Perbankan Syariah dan Surat Berharga Syariah Negara yang mengisyaratkan hukum atau syariat Islam sebagai hukum materil ekonomi syariah. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Tentang Surat Berharga Syariah Negara menyatakan bahwa: "Surat Berharga Syariah Negara selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai alat bukti bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah, maupun valuta asing."
Sementara itu, Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perbankan Syariah menjelaskan bahwa: "Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya." Pasal 2 menjelaskan bahwa "Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian."
Pasal 1 ayat (12) menjelaskan: "Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah."
Pasal 26 ayat (1), (2) dan (3) menyatakan: "(1) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip Syariah. (2) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia. (3) Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan. dalam Peraturan Bank Indonesia."
Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa "Bank Syariah atau UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat."
Pasal 4 ayat (3) menyatakan bahwa: "Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif)."
Keterbatasan perundang-undangan dalam bidang ekonomi syariah sebenarnya tidak menjadi hambatan bagi para hakim dalam memutus sengketa yang diajukan ke pengadilan. Seperti terlihat di atas, baik fatwa yang sudah dipostivisasi oleh Bank Indonesia maupun peraturan perundang-undangan ekonomi syariah yang tersedia merujuk dan meresepsi hukum atau syariat Islam. Syariat Islam sebagai fiqh para fuqaha' bersumber dari Qur'an, Sunnah, Ijma', Qiyas atau ijtihad secara umum. Para hakim dapat mengeksplorasi sumber yang amat luas ini dengan melakukan tarjih dari pendapat-pendapat yang ada atau melakukan istinbath dan ijtihad dalam batas kemampuan yang ada. Putusan hakim seperti ini dalam masa yang panjang akan menjadi yurisprudensi pengadilan sebagai hukum Islam berciri Indonesia di masa depan sebagai judge made law (hukum yang dibuat oleh hakim).
Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia akhir-akhir ini menunjukkan hukum atau syariat Islam sebagai hukum yang hidup di negeri ini dengan didukung oleh masyarakat melalui para pelaku ekonomi, lembaga-lembaga keuangan, pendidikan, keulamaan, peradilan dan penyelesaian sengketa alternatif dan lain-lain. Gejala ini juga menunjukkan penyerapan lembaga-lembaga masyarakat terhadap syariat Islam sebagai tuntunan hukum mereka, walaupun peraturan perundang-undangan dalam bidang ekonomi syariat masih sangat terbatas dan di pihak lain meunjukkan kelambanan legislator Indonesia dalam mengantisipasi keinginan dan kebutuhan masyarakat.
Peraturan perundang-undangan yang terbatas sebenarnya tidak menjadi hambatan besar bagi hakim Peradilan Agama dalam memutus sengketa ekonomi syariah yang diajukan kepada mereka, mengingat hakim muslim sejak dahulu selalu memutus perkara berdasarkan syariat Islam sebagai ius constitum bagi dunia Islam. Dengan praktek hukum ekonomi syariah paling tidak sebagian besar fiqh mu'amalat telah menjadi hukum Indonesia.
Hukum ekonomi syariah sebagai bagian dari hukum atau syariah Islam yang berkembang di berbagai bagian dunia, termasuk di Indonesia, merupakan penggabungan antara hukum ekonomi konvensional yang telah melalui transformasi proses Islamisasi hukum oleh para ahli ekonomi Islam ditambah dengan fiqh mu'amalat konvensional yang berakar panjang dalam sejarah Islam. Tidak mengherankan bila bidang ini masih merupakan suatu yang baru bagi negara-negara berpenduduk muslim, terutama, karena minimnya peraturan perundang-undangan negara yang mendukung dan praktek peradilan.
Hukum materil ekonomi syariah di Indonesia pada umumnya baru tersedia dalam bentuk fiqh para fuqaha' atau fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) secara khusus, yang sebagiannya telah menjadi Peraturan Bank Indonesia melalui upaya positivisasi fatwa. Mengisi kekosongan perudang-undangan dalam bidang ini bagi kepentingan penyelesaian sengketa di pengadilan, maka Mahkamah Agung RI telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). KHES terdiri dari 4 Buku, masing-masing tentang Subyek Hukum dan Amwal, Akad, Zakat dan Hibah, dan Akutansi Syariah. Diharapkan pemerintah dan DPR RI dapat mengambil inisiatif di masa depan untuk mengembangkan KHES menjadi Kitab Undang-Undang Ekonomi Syariah melalui produk perundang-undangan.
Langkah lain yang perlu juga diambil di masa depan adalah mendirikan Lembaga Fatwa Negara dengan meningkatkan status DSN/Mejelis Fatwa MUI menjadi Lembaga Fatwa Negara berdasarkan undang-undang dengan kedudukan sejajar, misalnya, dengan Kantor Mufti di negara tetangga Malaysia, bahwa bila fatwa yang diterbitkannya disiarkan dalam lembaran negara maka mempunyai kekuatan yang sama dengan undang-undang.
Dalam bidang ekonomi syariah juga telah terbit perundang-undangan tentang Perbankan Syariah dan Surat Berharga Syariah Negara yang mengisyaratkan hukum atau syariat Islam sebagai hukum materil ekonomi syariah. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Tentang Surat Berharga Syariah Negara menyatakan bahwa: "Surat Berharga Syariah Negara selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai alat bukti bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah, maupun valuta asing."
Sementara itu, Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perbankan Syariah menjelaskan bahwa: "Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya." Pasal 2 menjelaskan bahwa "Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian."
Pasal 1 ayat (12) menjelaskan: "Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah."
Pasal 26 ayat (1), (2) dan (3) menyatakan: "(1) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip Syariah. (2) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia. (3) Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan. dalam Peraturan Bank Indonesia."
Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa "Bank Syariah atau UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat."
Pasal 4 ayat (3) menyatakan bahwa: "Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif)."
Keterbatasan perundang-undangan dalam bidang ekonomi syariah sebenarnya tidak menjadi hambatan bagi para hakim dalam memutus sengketa yang diajukan ke pengadilan. Seperti terlihat di atas, baik fatwa yang sudah dipostivisasi oleh Bank Indonesia maupun peraturan perundang-undangan ekonomi syariah yang tersedia merujuk dan meresepsi hukum atau syariat Islam. Syariat Islam sebagai fiqh para fuqaha' bersumber dari Qur'an, Sunnah, Ijma', Qiyas atau ijtihad secara umum. Para hakim dapat mengeksplorasi sumber yang amat luas ini dengan melakukan tarjih dari pendapat-pendapat yang ada atau melakukan istinbath dan ijtihad dalam batas kemampuan yang ada. Putusan hakim seperti ini dalam masa yang panjang akan menjadi yurisprudensi pengadilan sebagai hukum Islam berciri Indonesia di masa depan sebagai judge made law (hukum yang dibuat oleh hakim).
Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia akhir-akhir ini menunjukkan hukum atau syariat Islam sebagai hukum yang hidup di negeri ini dengan didukung oleh masyarakat melalui para pelaku ekonomi, lembaga-lembaga keuangan, pendidikan, keulamaan, peradilan dan penyelesaian sengketa alternatif dan lain-lain. Gejala ini juga menunjukkan penyerapan lembaga-lembaga masyarakat terhadap syariat Islam sebagai tuntunan hukum mereka, walaupun peraturan perundang-undangan dalam bidang ekonomi syariat masih sangat terbatas dan di pihak lain meunjukkan kelambanan legislator Indonesia dalam mengantisipasi keinginan dan kebutuhan masyarakat.
Peraturan perundang-undangan yang terbatas sebenarnya tidak menjadi hambatan besar bagi hakim Peradilan Agama dalam memutus sengketa ekonomi syariah yang diajukan kepada mereka, mengingat hakim muslim sejak dahulu selalu memutus perkara berdasarkan syariat Islam sebagai ius constitum bagi dunia Islam. Dengan praktek hukum ekonomi syariah paling tidak sebagian besar fiqh mu'amalat telah menjadi hukum Indonesia.
Politik Hukum Ekonomi Indonesia
Peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan bagaian dari
hukum yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara. Ia muncul tidak
tiba-tiba. Namun, dibuat dengan tujuan dan alasan tertentu1.
Keanekaragamaan tujuan dan alasan dibuatnya peraturan perundang-
undangan disebut sebagai politik hukum (legal policy). Menurut
Hikmahanto Juwana, pembuatan peraturan perundang-undangan, politik
hukum sangat penting, paling penting, untuk dua hal. Pertama sebagai alasan
mengapa diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.
Kedua, untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan kedalam kalimat
hukum dan menjadi perumusan pasal. Dua hal ini penting karena keberadaan
peraturan perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan “jembatan”
antara politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan politik hukum
tersebut dalam tahap implementasi peraturan perundang-undangan.
Mengingat harus ada konsitensi dan korelasi antara apa yang ditetapkan
sebagai politik hukum dengan yang ingin dicapai sebagai tujuan.
Politik hukum dapat dibedakan dalam dua dimensi. Dimensi pertama
adalah politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu
1 Himahanto Juwana, makalah kuliah pada MPKP XIV. FE.UI
peraturan perundang-undangan. Kebijakan dasar yang dibuat berkaitan
dengan perekonomian, maka disebut sebagai politik hukum ekonomi, karena
tujuan dari pembuatan peraturan perundang-undangan (selanjutnya disebut
dengan Undang-undang (UU)) adalah untuk melengkapi regulasi dalam
kegiatan perekonomian di suatu Negara.2. Politik hukum dengan dimensi
alasan dasar seperti ini menurut Hikmahanto sebagai “kebijakan dasar” atau
dalam bahasa inggris disebut “basic policy”, contoh kebijakan dasar dari UU
Hak Cipta adalah memberikan perlindungan bagi pencipta atas ciptaannya.
Kebijakan dasar UU Kepailitan bertujuan untuk membebaskan debitur yang
sudah tidak mampu lagi membayar hutang disamping memfasilitasi kreditur
untuk mengambil kembali haknya dari debitur.
Dimensi kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang
muncul dibalik pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan, yang
kemudian disebut sebagai “ Kebijakan Pemberlakuan” atau yang dalam
bahasa inggris disebut sebagai “enactment policy”. Melalui “kebijakan
Pemberlakuan inilah dapat dilakukan pengidentifikasian beragam kebijakan
pemberlakuan UU di Indonesia. Untuk itu dalam tulisan ini akan hanya
melihat secara makro UU yang dibuat berkenaan dengan perekonomian
Indonesia, apakah kebijakan pemberlakuan UU tersebut untuk membela atau
menunjukkan keberpihakan kepada kepentingan rakyat atau ekonomi rakyat,
atau justru sebaliknya.
Menurut Daniel W. Bromley3, Etika menekankan pada persepsi
kolektif tentang sesuatu yang dianggap baik dan adil, untuk masa kini
2 Melalui Undang-undang inilah kita dapat melihat sejauhmana keberpihakan pemerintah sebagai policy
maker yang mempunyai otoritas membuat UU terhadap ekonomi rakyat.
3 Dalam Bromley, “A DEVELOPMENT ALTERNATIVE FOR INDONESIA”.
maupun mendatang. Hukum menekankan pada penerapan kekuatan kolektif
untuk melaksanakan ethical consensus yang telah disepakati. Sementara itu,
ilmu ekonomi menekankan pada perhitungan untung rugi yang didasarkan
pada etika dan landasan hukum suatu negara. Politik Hukum Ekonomi
menjadi konsensus untuk mengatur kegiatan ekonomi agar mencapai
tujuannya. Namun, tidak jarang Politik Hukum Ekonomi yang dibuat
berdasarkan konsensus sepihak dengan kekuatan kekuasaan yang dimiliki
oleh pemerintah menjadi distorsi bagi perekonomian.
Politik Hukum Ekonomi Untuk Pembangunan
UU Bidang Ekonomi yang diteliti hampir semua menyebutkan
diberlakukan suatu UU adalah dalam rangka pembangunan nasional4, misal
dalam UU Perlindungan Konsumen disebutkan dalam penjelasan umum
bahwa, “pembangunan nasional termasuk pembangunan, hukum yang
memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka
membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah
kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar Negara Pancasila dan konstitusi
Negara UUD 1945. Demikian pula dengan UU Telekomunikasi yang dalam
konsideran menimbangnya mengungkap pembangunan nasional, “bahwa
tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil
dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945.” Demikian pula dengan UU Ketenagakerjaan yang menyebut
4 Lihat Hikmahanto Juwana, makalah kuliah aspek hukum dalam ekonomi. MPKP XIV.
“Pembangunan Ketenagakerjaan sebagai bagian internal dari pembangunan
nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dilaksanakan dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat dan harga diri
tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur dan
merata, baik materiil maupun spiritual.”
hukum yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara. Ia muncul tidak
tiba-tiba. Namun, dibuat dengan tujuan dan alasan tertentu1.
Keanekaragamaan tujuan dan alasan dibuatnya peraturan perundang-
undangan disebut sebagai politik hukum (legal policy). Menurut
Hikmahanto Juwana, pembuatan peraturan perundang-undangan, politik
hukum sangat penting, paling penting, untuk dua hal. Pertama sebagai alasan
mengapa diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.
Kedua, untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan kedalam kalimat
hukum dan menjadi perumusan pasal. Dua hal ini penting karena keberadaan
peraturan perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan “jembatan”
antara politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan politik hukum
tersebut dalam tahap implementasi peraturan perundang-undangan.
Mengingat harus ada konsitensi dan korelasi antara apa yang ditetapkan
sebagai politik hukum dengan yang ingin dicapai sebagai tujuan.
Politik hukum dapat dibedakan dalam dua dimensi. Dimensi pertama
adalah politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu
1 Himahanto Juwana, makalah kuliah pada MPKP XIV. FE.UI
peraturan perundang-undangan. Kebijakan dasar yang dibuat berkaitan
dengan perekonomian, maka disebut sebagai politik hukum ekonomi, karena
tujuan dari pembuatan peraturan perundang-undangan (selanjutnya disebut
dengan Undang-undang (UU)) adalah untuk melengkapi regulasi dalam
kegiatan perekonomian di suatu Negara.2. Politik hukum dengan dimensi
alasan dasar seperti ini menurut Hikmahanto sebagai “kebijakan dasar” atau
dalam bahasa inggris disebut “basic policy”, contoh kebijakan dasar dari UU
Hak Cipta adalah memberikan perlindungan bagi pencipta atas ciptaannya.
Kebijakan dasar UU Kepailitan bertujuan untuk membebaskan debitur yang
sudah tidak mampu lagi membayar hutang disamping memfasilitasi kreditur
untuk mengambil kembali haknya dari debitur.
Dimensi kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang
muncul dibalik pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan, yang
kemudian disebut sebagai “ Kebijakan Pemberlakuan” atau yang dalam
bahasa inggris disebut sebagai “enactment policy”. Melalui “kebijakan
Pemberlakuan inilah dapat dilakukan pengidentifikasian beragam kebijakan
pemberlakuan UU di Indonesia. Untuk itu dalam tulisan ini akan hanya
melihat secara makro UU yang dibuat berkenaan dengan perekonomian
Indonesia, apakah kebijakan pemberlakuan UU tersebut untuk membela atau
menunjukkan keberpihakan kepada kepentingan rakyat atau ekonomi rakyat,
atau justru sebaliknya.
Menurut Daniel W. Bromley3, Etika menekankan pada persepsi
kolektif tentang sesuatu yang dianggap baik dan adil, untuk masa kini
2 Melalui Undang-undang inilah kita dapat melihat sejauhmana keberpihakan pemerintah sebagai policy
maker yang mempunyai otoritas membuat UU terhadap ekonomi rakyat.
3 Dalam Bromley, “A DEVELOPMENT ALTERNATIVE FOR INDONESIA”.
maupun mendatang. Hukum menekankan pada penerapan kekuatan kolektif
untuk melaksanakan ethical consensus yang telah disepakati. Sementara itu,
ilmu ekonomi menekankan pada perhitungan untung rugi yang didasarkan
pada etika dan landasan hukum suatu negara. Politik Hukum Ekonomi
menjadi konsensus untuk mengatur kegiatan ekonomi agar mencapai
tujuannya. Namun, tidak jarang Politik Hukum Ekonomi yang dibuat
berdasarkan konsensus sepihak dengan kekuatan kekuasaan yang dimiliki
oleh pemerintah menjadi distorsi bagi perekonomian.
Politik Hukum Ekonomi Untuk Pembangunan
UU Bidang Ekonomi yang diteliti hampir semua menyebutkan
diberlakukan suatu UU adalah dalam rangka pembangunan nasional4, misal
dalam UU Perlindungan Konsumen disebutkan dalam penjelasan umum
bahwa, “pembangunan nasional termasuk pembangunan, hukum yang
memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka
membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah
kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar Negara Pancasila dan konstitusi
Negara UUD 1945. Demikian pula dengan UU Telekomunikasi yang dalam
konsideran menimbangnya mengungkap pembangunan nasional, “bahwa
tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil
dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945.” Demikian pula dengan UU Ketenagakerjaan yang menyebut
4 Lihat Hikmahanto Juwana, makalah kuliah aspek hukum dalam ekonomi. MPKP XIV.
“Pembangunan Ketenagakerjaan sebagai bagian internal dari pembangunan
nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dilaksanakan dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat dan harga diri
tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur dan
merata, baik materiil maupun spiritual.”
Mafia Hukum Ancam Investasi di Indonesia
Investor asal Korea Selatan (Korsel), PT IDB Bio Research Development bakal menghentikan investasinya di Indonesia jika kasus pencurian dan penggelapan yang diduga dilakukan oleh salah seorang komisarisnya, Bambang Danardono, tidak ditangani secara transparan oleh aparat penegak hukum Indonesia.
Kasus ini menjadi ujian sekaligus tolok ukur keseriusan pemerintah memberikan jaminan investasi di Indonesia,ujar Direktur Utama PT IDB David Baek kepada wartawan di Jakarta, Senin (4/10).
Puncak kekecewaan PT IDB terhadap Bambang terjadi pada Mei 2010 lalu. Bambang, kata David, mencabut semua bibit singkong unggulan yang ditaman dilahan Salabintana, Sukabumi. Disinyalir, semua bibit singkong itu dipindahkan ke lahan milik Bambang di Ciujung. Akibatnya, perusahaan menderita kerugian materil sekitar Rp325 juta dan juga kerugian immateril. Kerugian immaterial tidak terhitung nilainya, tutur Bambang.
Tindakan Bambang itu membuat jajaran PT IDB marah. Buntutnya, PT IDB melaporkan Bambang ke polisi. Kini Bambang tengah menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri, Cibadak, Sukabumi. Namun anehnya, sejauh ini tidak ada penyelidikan lebih lanjut tentang ke mana aset milik PT IDB disembunyikan. “Analoginya begini. Seorang yang mencuri motor. Pencurinya tertangkap, namun motornya tidak tau entah ke mana. Ini kan janggal. Mestinya, setelah pencurinya tertangkap, hasil curiannya pun ketahuan, tegas David.
Jaksa Penuntut Umum (JPU), terus bergerak cepat. JPU, Mad Sunan SH mendakwa Bambang dengan Pasal 362 KUHP tentang pencurian jo Pasal 374 KUHP tentang penggelapan dengan hukuman maksimal 5 tahun penjara. “Kami harapkan agar terdakwa diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Jangan ada permainan atau mafia hukum dalam kasus ini. Kalau memang terbukti terdakwa bersalah maka hukumlah seberat-beratnya sehingga investasi masuk, pinta kuasa hukum PT IDB, Verry Sitorus.
Menurut Verry, jika kasus pencurian dan penggelapan itu tidak ditangani dengan baik maka citra investasi di Indonesia tercoreng. “Aparat penegak hukum, mulai polisi, jaksa, dan majelis hakim agar tidak bermain-main dengan kasus ini. Sebab dampak yang ditimbulkan sangat besar, terutama menyangkut nasib investor asing di Indonesia. Investor menjadi trauma, katanya.
Ditegaskan David, kasus pencurian dan penggelapan asset PT IDB tersebut tidak saja merusak iklim investasi di Indonesia, tetapi juga merusak citra Indonesia di mata investor asing. Bagi investor, kasus ini sebagai pertanda, jaminan kepastian hukum akan investasi di Indonesia belum sepuhnya terwujud. “Untuk itu, kami minta kasus ini ditangani dengan baik. Kalau tidak investor kehilangan kepercayaan terhadap iklim investasi di Indonesia, ujarnya.
Anggota DPR dari F-PDIP Lazarus, menyatakan kebijakan penanaman modal harus menciptakan daya saing perekonomian nasional guna mendorong integrasi perekonomian Indonesia menuju perekonomian global. Karena itu, kepastian hukum terkait jaminan investasi mutlak diperlukan. “Kalau ada kasus hukum yang terkait dengan investasi asing, harus diselesaikan dengan baik. Proses hukum jangan sampai tebang pilih. Kalau memang ditemukan ada pelanggaran hukum, ya harus dituntut sesuai ketentuan yang berlaku. Saya kira, ini prinsip yang harus menjadi pegangan,tegasnya.
Kasus ini menjadi ujian sekaligus tolok ukur keseriusan pemerintah memberikan jaminan investasi di Indonesia,ujar Direktur Utama PT IDB David Baek kepada wartawan di Jakarta, Senin (4/10).
Puncak kekecewaan PT IDB terhadap Bambang terjadi pada Mei 2010 lalu. Bambang, kata David, mencabut semua bibit singkong unggulan yang ditaman dilahan Salabintana, Sukabumi. Disinyalir, semua bibit singkong itu dipindahkan ke lahan milik Bambang di Ciujung. Akibatnya, perusahaan menderita kerugian materil sekitar Rp325 juta dan juga kerugian immateril. Kerugian immaterial tidak terhitung nilainya, tutur Bambang.
Tindakan Bambang itu membuat jajaran PT IDB marah. Buntutnya, PT IDB melaporkan Bambang ke polisi. Kini Bambang tengah menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri, Cibadak, Sukabumi. Namun anehnya, sejauh ini tidak ada penyelidikan lebih lanjut tentang ke mana aset milik PT IDB disembunyikan. “Analoginya begini. Seorang yang mencuri motor. Pencurinya tertangkap, namun motornya tidak tau entah ke mana. Ini kan janggal. Mestinya, setelah pencurinya tertangkap, hasil curiannya pun ketahuan, tegas David.
Jaksa Penuntut Umum (JPU), terus bergerak cepat. JPU, Mad Sunan SH mendakwa Bambang dengan Pasal 362 KUHP tentang pencurian jo Pasal 374 KUHP tentang penggelapan dengan hukuman maksimal 5 tahun penjara. “Kami harapkan agar terdakwa diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Jangan ada permainan atau mafia hukum dalam kasus ini. Kalau memang terbukti terdakwa bersalah maka hukumlah seberat-beratnya sehingga investasi masuk, pinta kuasa hukum PT IDB, Verry Sitorus.
Menurut Verry, jika kasus pencurian dan penggelapan itu tidak ditangani dengan baik maka citra investasi di Indonesia tercoreng. “Aparat penegak hukum, mulai polisi, jaksa, dan majelis hakim agar tidak bermain-main dengan kasus ini. Sebab dampak yang ditimbulkan sangat besar, terutama menyangkut nasib investor asing di Indonesia. Investor menjadi trauma, katanya.
Ditegaskan David, kasus pencurian dan penggelapan asset PT IDB tersebut tidak saja merusak iklim investasi di Indonesia, tetapi juga merusak citra Indonesia di mata investor asing. Bagi investor, kasus ini sebagai pertanda, jaminan kepastian hukum akan investasi di Indonesia belum sepuhnya terwujud. “Untuk itu, kami minta kasus ini ditangani dengan baik. Kalau tidak investor kehilangan kepercayaan terhadap iklim investasi di Indonesia, ujarnya.
Anggota DPR dari F-PDIP Lazarus, menyatakan kebijakan penanaman modal harus menciptakan daya saing perekonomian nasional guna mendorong integrasi perekonomian Indonesia menuju perekonomian global. Karena itu, kepastian hukum terkait jaminan investasi mutlak diperlukan. “Kalau ada kasus hukum yang terkait dengan investasi asing, harus diselesaikan dengan baik. Proses hukum jangan sampai tebang pilih. Kalau memang ditemukan ada pelanggaran hukum, ya harus dituntut sesuai ketentuan yang berlaku. Saya kira, ini prinsip yang harus menjadi pegangan,tegasnya.
Outsourcing (Alih Daya) dan Pengelolaan Tenaga Kerja Pada Perusahaan
OUTSOURCING (ALIH DAYA) DAN PENGELOLAAN
TENAGA KERJA PADA PERUSAHAAN:
(Tinjauan Yuridis terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) *
oleh Pan Mohamad Faiz
Abstrak:
Dalam pengertian umum, istilah outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai contract (work) out seperti yang tercantum dalam Concise Oxford Dictionary, sementara mengenai kontrak itu sendiri diartikan sebagai berikut:[6]
“ Contract to enter into or make a contract. From the latin contractus, the past participle of contrahere, to draw together, bring about or enter into an agreement.” (Webster’s English Dictionary)
Pengertian outsourcing (Alih Daya) secara khusus didefinisikan oleh Maurice F Greaver II, pada bukunya Strategic Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing: Decisions and Initiatives, dijabarkan sebagai berikut :[7]
“Strategic use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal staff and respurces.”
Menurut definisi Maurice Greaver, Outsourcing (Alih Daya) dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama
Beberapa pakar serta praktisi outsourcing (Alih Daya) dari Indonesia juga memberikan definisi mengenai outsourcing, antara lain menyebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) dalam bahasa Indonesia disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa outsourcing).[8] Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Muzni Tambusai, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mendefinisikan pengertian outsourcing (Alih Daya) sebagai memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan.[9]
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan dalam memandang outsourcing (Alih Daya) yaitu terdapat penyerahan sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain.
I. Pendahuluan
Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan dihasilkan sejumlah produk dan jasa memiliki kualitas yang memiliki daya saing di pasaran. Dalam iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production).[1] Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.[2] Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak.[3] Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja[4] pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004).Pengaturan tentang outsourcing (Alih Daya) ini sendiri masih dianggap pemerintah kurang lengkap.
Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi disebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan menteri tenaga kerja untuk membuat draft revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.[5] Outsourcing tidak dapat dipandang secara jangka pendek saja, dengan menggunakan outsourcing perusahaan pasti akan mengeluarkan dana lebih sebagai management fee perusahaan outsourcing. Outsourcing harus dipandang secara jangka panjang, mulai dari pengembangan karir karyawan, efisiensi dalam bidang tenaga kerja, organisasi, benefit dan lainnya. Perusahaan dapat fokus pada kompetensi utamanya dalam bisnis sehingga dapat berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal intern perusahaan yang bersifat penunjang (supporting) dialihkan kepada pihak lain yang lebih profesional. Pada pelaksanaannya, pengalihan ini juga menimbulkan beberapa permasalahan terutama masalah ketenagakerjaan.
Problematika mengenai outsourcing (Alih Daya) memang cukup bervariasi. Hal ini dikarenakan penggunaan outsourcing (Alih Daya) dalam dunia usaha di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu memadai untuk mengatur tentang outsourcing yang telah berjalan tersebut. Secara garis besar permasalahan hukum yang terkait dengan penerapan outsourcing (Alih Daya) di Indonesia sebagai berikut:
1. Bagaimana perusahaan melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core business) dan pekerjaan penunjang perusahaan (non core bussiness) yang merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing (Alih Daya) ?
2. Bagaimana hubungan hukum antara karyawan outsourcing (Alih Daya) den perusahaan pengguna jasa outsourcing ?
3. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa bila ada karyawan outsource yang melanggar aturan kerja pada lokasi perusahaan pemberi kerja?
II. Definisi Outsourcing
Dalam pengertian umum, istilah outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai contract (work) out seperti yang tercantum dalam Concise Oxford Dictionary, sementara mengenai kontrak itu sendiri diartikan sebagai berikut:[6] “ Contract to enter into or make a contract. From the latin contractus, the past participle of contrahere, to draw together, bring about or enter into an agreement.” (Webster’s English Dictionary)
Pengertian outsourcing (Alih Daya) secara khusus didefinisikan oleh Maurice F Greaver II, pada bukunya Strategic Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing: Decisions and Initiatives, dijabarkan sebagai berikut :[7 “Strategic use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal staff and respurces.”
Menurut definisi Maurice Greaver, Outsourcing (Alih Daya) dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasamaBeberapa pakar serta praktisi outsourcing (Alih Daya) dari Indonesia juga memberikan definisi mengenai outsourcing, antara lain menyebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) dalam bahasa Indonesia disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa outsourcing).[8] Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Muzni Tambusai, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mendefinisikan pengertian outsourcing (Alih Daya) sebagai memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan.[9] Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan dalam memandang outsourcing (Alih Daya) yaitu terdapat penyerahan sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain.
III. Pengaturan Outsourcing (Alih Daya) dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh.[10] Pada perkembangannya dalam draft revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) mengenai pemborongan pekerjaan dihapuskan, karena lebih condong ke arah sub contracting pekerjaan dibandingkan dengan tenaga kerja.[11]
Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan diuraikan terlebih dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing (Alih Daya) dalam UU No.13 tahun 2003.
Dalam UU No.13/2003, yang menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat).
Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64 dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”
Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah:
* penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis (ayat 1);
* pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, seperti yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
- dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
- merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
- tidak menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2)
* perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan hukum (ayat 3);
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan (ayat 4);
* perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam keputusan menteri (ayat 5);
* hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis antara perusahaan lain dan pekerja yang dipekerjakannya (ayat 6)
* hubungan kerja antara perusahaan lain dengan pekerja/buruh dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (ayat 7);
* bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat-syarat mengenai pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, dan syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan (ayat 8).
Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.[12] Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:[13]
* adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja;
* perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah
* perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
* perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.
Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.[14] Dalam hal syarat-syarat diatas tidak terpenuhi (kecuali mengenai ketentuan perlindungan kesejahteraan), maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.[15]
IV. Penentuan Pekerjaan Utama (Core Business) dan Pekerjaan Penunjang (Non Coree Business) dalam Perusahaan sebagai Dasar Pelaksanaan Outsourcing
Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 outsourcing (Alih Daya) dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
R.Djokopranoto dalam materi seminarnya menyampaikan bahwa :
“Dalam teks UU no 13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara usaha atau kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan pokok antara bunyi UU tersebut dengan praktek industri, yaitu bahwa yang di outsource umumnya (tidak semuanya) adalah kegiatan penunjang (non core business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada umumnya (tidak semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada potensi masalah yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah apakah pembuat dan penegak undang-undang di satu pihak dan para pengusaha dan industriawan di lain pihak mempunyai pengertian dan interpretasi yang sama mengenai istilah-istilah tersebut.”[16]Kesamaan interpretasi ini penting karena berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) hanya dibolehkan jika tidak menyangkut core business. Dalam penjelasan pasal 66 UU No.13 tahun 2003, disebutkan bahwa :
”Yang dimaksud dengan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.Interpretasi yang diberikan undang-undang masih sangat terbatas dibandingkan dengan kebutuhan dunia usaha saat ini dimana penggunaan outsourcing (Alih Daya) semakin meluas ke berbagai lini kegiatan perusahaan. Konsep dan pengertian usaha pokok atau core business dan kegiatan penunjang atau non core business adalah konsep yang berubah dan berkembang secara dinamis.[17] Oleh karena itu tidak heran kalau Alexander dan Young (1996) mengatakan bahwa ada empat pengertian yang dihubungkan dengan core activity atau core business. Keempat pengertian itu ialah :[18]
* Kegiatan yang secara tradisional dilakukan di dalam perusahaan.
* Kegiatan yang bersifat kritis terhadap kinerja bisnis.
* Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif baik sekarang maupun di waktu yang akan datang.
* Kegiatan yang akan mendorong pengembangan yang akan datang, inovasi, atau peremajaan kembali.
Interpretasi kegiatan penunjang yang tercantum dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003 condong pada definisi yang pertama, dimana outsourcing (Alih Daya) dicontohkan dengan aktivitas berupa pengontrakan biasa untuk memudahkan pekerjaan dan menghindarkan masalah tenaga kerja. Outsourcing (Alih Daya) pada dunia modern dilakukan untuk alasan-alasan yang strategis, yaitu memperoleh keunggulan kompetitif untuk menghadapi persaingan dalam rangka mempertahankan pangsa pasar, menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan.[19]
Outsourcing (Alih Daya) untuk meraih keunggulan kompetitif ini dapat dilihat pada industri-industri mobil besar di dunia seperti Nissan, Toyota dan Honda. Pada awalnya dalam proses produksi mobil, core business nya terdiri dari pembuatan desain, pembuatan suku cadang dan perakitan. Pada akhirnya yang menjadi core business hanyalah pembuatan desain mobil sementara pembuatan suku cadang dan perakitan diserahkan pada perusahaan lain yang lebih kompeten, sehingga perusahaan mobil tersebut bisa meraih keunggulan kompetitif.[20]Dalam hal outsourcing (Alih Daya) yang berupa penyediaan pekerja, dapat dilihat pada perkembangannya saat ini di Indonesia, perusahaan besar seperti Citibank banyak melakukan outsource untuk tenaga-tenaga ahli[21], sehingga interpretasi outsource tidak lagi hanya sekadar untuk melakukan aktivitas-aktivitas penunjang seperti yang didefinisikan dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003. Untuk itu batasan pengertian core business perlu disamakan lagi interpretasinya oleh berbagai kalangan. Pengaturan lebih lanjut untuk hal-hal semacam ini belum diakomodir oleh peraturan ketenagakerjaan di Indonesia.
Perusahaan dalam melakukan perencanaan untuk melakukan outsourcing terhadap tenaga kerjanya, mengklasifikasikan pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang ke dalam suatu dokumen tertulis dan kemudian melaporkannya kepada instansi ketenagakerjaan setempat.[22]
Pembuatan dokumen tertulis penting bagi penerapan outsourcing di perusahaan, karena alasan-alasan sebagai berikut :
1. Sebagai bentuk kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan tentang ketenagakerjaan dengan melakukan pelaporan kepada Dinas Tenaga Kerja setempat;
2. Sebagai pedoman bagi manajemen dalam melaksanakan outsourcing pada bagian-bagian tertentu di perusahaan;
3. Sebagai sarana sosialisasi kepada pihak pekerja tentang bagian-bagian mana saja di perusahaan yang dilakukan outsourcing terhadap pekerjanya;
4. Meminimalkan risiko perselisihan dengan pekerja, serikat pekerja, pemerintah serta pemegang saham mengenai keabsahan dan pengaturan tentang outsourcing di Perusahaan.
V. Perjanjian dalam Outsourcing
Hubungan kerjasama antara Perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing tentunya diikat dengan suatu perjanjian tertulis. Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) dapat berbentuk perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh. Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat sah perjanjian seperti yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
1. Sepakat, bagi para pihak;
2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Sebab yang halal.
Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) juga tidak semata-mata hanya mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak sesuai pasal 1338 KUH Perdata, namun juga harus memenuhi ketentuan ketenagakerjaan, yaitu UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam penyediaan jasa pekerja, ada 2 tahapan perjanjian yang dilalui yaitu:
1. Perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia pekerja/buruh ;
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :[23]
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Dalam hal penempatan pekerja/buruh maka perusahaan pengguna jasa pekerja akan membayar sejumlah dana (management fee) pada perusahaan penyedia pekerja/buruh
2. perjanjian perusahaan penyedia pekerja/buruh dengan karyawan
Penyediaan jasa pekerja atau buruh untuk kegiatan penunjang perusahaan hatus memenuhi syarat sebagai berikut :[24]
a. adanya hubungan kerja antara pekerja atau buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan dan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak;
c. perlindungan usaha dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Dengan adanya 2 (dua) perjanjian tersebut maka walaupun karyawan sehari-hari bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan namun ia tetap berstatus sebagai karyawan perusahaan penyedia pekerja. Pemenuhan hak-hak karyawan seperti perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul tetap merupakan tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja.
Perjanjian kerja antara karyawan dengan perusahaan outsourcing (Alih Daya) dapat berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)[25].
Perjanjian kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan outsourcing biasanya mengikuti jangka waktu perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing. Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan pengguna jasa outsourcing hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan outsourcing, maka pada waktu yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja antara karyawan dengan perusahaan outsource. Bentuk perjanjian kerja yang lazim digunakan dalam outsourcing adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Bentuk perjanjian kerja ini dipandang cukup fleksibel bagi perusahaan pengguna jasa outsourcing, karena lingkup pekerjaannya yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan perusahaan.
Karyawan outsourcing walaupun secara organisasi berada di bawah perusahaan outsourcing, namun pada saat rekruitment, karyawan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pihak perusahaan pengguna outsourcing. Apabila perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing berakhir, maka berakhir juga perjanjian kerja antara perusahaan outsourcing dengan karyawannya.
VI. Hubungan Hukum antara Karyawan Outsourcing (Alih Daya) dengan Perusahaan Pengguna Outsourcing
Hubungan hukum Perusahaan Outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) diikat dengan menggunakan Perjanjian Kerjasama, dalam hal penyediaan dan pengelolaan pekerja pada bidang-bidang tertentu yang ditempatkan dan bekerja pada perusahaan pengguna outsourcing. Karyawan outsourcing (Alih Daya) menandatandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing (Alih Daya) sebagai dasar hubungan ketenagakerjaannya. Dalam perjanjian kerja tersebut disebutkan bahwa karyawan ditempatkan dan bekerja di perusahaan pengguna outsourcing.
Dari hubungan kerja ini timbul suatu permasalahan hukum, karyawan outsourcing (Alih Daya) dalam penempatannya pada perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) harus tunduk pada Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku pada perusahaan pengguna oustourcing tersebut, sementara secara hukum tidak ada hubungan kerja antara keduanya.
Hal yang mendasari mengapa karyawan outsourcing (Alih Daya) harus tunduk pada peraturan perusahaan pemberi kerja adalah :[26]
1. Karyawan tersebut bekerja di tempat/lokasi perusahaan pemberi kerja;
2. Standard Operational Procedures (SOP) atau aturan kerja perusahaan pemberi kerja harus dilaksanakan oleh karyawan, dimana semua hal itu tercantum dalam peraturan perusahaan pemberi kerja;
3. Bukti tunduknya karyawan adalah pada Memorandum of Understanding (MoU) antara perusahaan outsource dengan perusahaan pemberi kerja, dalam hal yang menyangkut norma-norma kerja, waktu kerja dan aturan kerja. Untuk benefit dan tunjangan biasanya menginduk perusahaan outsource.
Dalam hal terjadi pelanggaran yang dilakukan pekerja, dalam hal ini tidak ada kewenangan dari perusahaan pengguna jasa pekerja untuk melakukan penyelesaian sengketa karena antara perusahaan pengguna jasa pekerja (user) dengan karyawan outsource secara hukum tidak mempunyai hubungan kerja, sehingga yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja, walaupun peraturan yang dilanggar adalah peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja (user).
Peraturan perusahaan berisi tentang hak dan kewajiban antara perusahaan dengan karyawan outsourcing. Hak dan kewajiban menggambarkan suatu hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan, dimana kedua pihak tersebut sama-sama terikat perjanjian kerja yang disepakati bersama. Sedangkan hubungan hukum yang ada adalah antara perusahaan Outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pengguna jasa, berupa perjanjian penyediaan pekerja. Perusahaan pengguna jasa pekerja dengan karyawan tidak memiliki hubungan kerja secara langsung, baik dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Apabila ditinjau dari terminologi hakikat pelaksanaan Peraturan Perusahaan, maka peraturan perusahaan dari perusahaan pengguna jasa tidak dapat diterapkan untuk karyawan outsourcing (Alih Daya) karena tidak adanya hubungan kerja. Hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan kerja antara karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan outsourcing, sehingga seharusnya karyawan outsourcing (Alih Daya) menggunakan peraturan perusahaan outsourcing, bukan peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja.
Karyawan outsourcing yang ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing tentunya secara aturan kerja dan disiplin kerja harus mengikuti ketentuan yang berlaku pada perusahaan pengguna outsourcing. Dalam perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna outsourcing harus jelas di awal, tentang ketentuan apa saja yang harus ditaati oleh karyawan outsourcing selama ditempatkan pada perusahaan pengguna outsourcing. Hal-hal yang tercantum dalam peraturan perusahaan pengguna outsourcing sebaiknya tidak diasumsikan untuk dilaksanakan secara total oleh karyawan outsourcing.
Misalkan masalah benefit, tentunya ada perbedaan antara karyawan outsourcing dengan karyawan pada perusahaan pengguna outsourcing. Hal-hal yang terdapat pada Peraturan Perusahaan yang disepakati untuk ditaati, disosialisasikan kepada karyawan outsourcing oleh perusahaan outsourcing. Sosialisasi ini penting untuk meminimalkan tuntutan dari karyawan outsourcing yang menuntut dijadikan karyawan tetap pada perusahaan pengguna jasa outsourcing, dikarenakan kurangnya informasi tentang hubungan hukum antara karyawan dengan perusahaan pengguna outsourcing.
Perbedaan pemahaman tesebut pernah terjadi pada PT Toyota Astra Motor, salah satu produsen mobil di Indonesia. Dimana karyawan outsourcing khusus pembuat jok mobil Toyota melakukan unjuk rasa serta mogok kerja untuk menuntut dijadikan karyawan PT Toyota Astra Motor. Hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi mengenai status hubungan hukum mereka dengan PT Toyota Astra Motor selaku perusahaan pengguna outsourcing.[27]
VII. Penyelesaian Perselisihan dalam Outsourcing (Alih Daya)
Dalam pelaksanaan outsourcing (Alih Daya) berbagai potensi perselisihan mungkin timbul, misalnya berupa pelanggaran peraturan perusahaan oleh karyawan maupun adanya perselisihan antara karyawan outsource dengan karyawan lainnya. Menurut pasal 66 ayat (2) huruf c UU No.13 Tahun 2003, penyelesaian perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja. Jadi walaupun yang dilanggar oleh karyawan outsource adalah peraturan perusahaan pemberi pekerjaan, yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja.
Dalam hal ini perusahaan outsource harus bisa menempatkan diri dan bersikap bijaksana agar bisa mengakomodir kepentingan karyawan, maupun perusahaan pengguna jasa pekerja, mengingat perusahaan pengguna jasa pekerja sebenarnya adalah pihak yang lebih mengetahui keseharian performa karyawan, daripada perusahaan outsource itu sendiri. Ada baiknya perusahaan outsource secara berkala mengirim pewakilannya untuk memantau para karyawannya di perusahaan pengguna jasa pekerja sehingga potensi konflik bisa dihindari dan performa kerja karyawan bisa terpantau dengan baik.
VIII. Kesimpulan
Outsourcing (Alih daya) sebagai suatu penyediaan tenaga kerja oleh pihak lain dilakukan dengan terlebih dahulu memisahkan antara pekerjaan utama (core business) dengan pekerjaan penunjang perusahaan (non core business) dalam suatu dokumen tertulis yang disusun oleh manajemen perusahaan. Dalam melakukan outsourcing perusahaan pengguna jasa outsourcing bekerjasama dengan perusahaan outsourcing, dimana hubungan hukumnya diwujudkan dalam suatu perjanjian kerjasama yang memuat antara lain tentang jangka waktu perjanjian serta bidang-bidang apa saja yang merupakan bentuk kerjasama outsourcing. Karyawan outsourcing menandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing untuk ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing.
Karyawan outsourcing selama ditempatkan diperusahaan pengguna jasa outsourcing wajib mentaati ketentuan kerja yang berlaku pada perusahaan outsourcing, dimana hal itu harus dicantumkan dalam perjanjian kerjasama. Mekanisme Penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan diselesaikan secara internal antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing, dimana perusahaan outsourcing seharusnya mengadakan pertemuan berkala dengan karyawannya untuk membahas masalah-masalah ketenagakerjaan yang terjadi dalam pelaksanaan outsourcing.
Dewasa ini outsourcing sudah menjadi trend dan kebutuhan dalam dunia usaha, namun pengaturannya masih belum memadai. Sedapat mungkin segala kekurangan pengaturan outsourcing dapat termuat dalam revisi UU Ketenagakerjaan yang sedang dipersiapkan dan peraturan pelaksanaanya, sehingga dapat mengakomodir kepentingan pengusaha dan melindungi kepentingan pekerja.
***
Catatan Kaki:
[1] Wirawan, Rubrik Hukum Teropong,Apa yang dimaksud dengan sistem outsourcing?, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0504/31/teropong/komenhukum.htm
[2] ibid
[3] Artikel “Outsource dipandang dari sudut perusahaan pemberi kerja”, http://www.apindo.or.id, diakses tanggal 4 Agustus 2006
[4] Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 TentangKetenagakerjaan,
[5] Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi memuat hal-hal yang dituntut untuk dilakukan revisi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu : Pemutusan Hubungan Kerjam Perjanjian kerja Waktu Tertentu, Perhitungan Pesangon, Ijin tenaga Kerja Asing dan istirahat panjang.
[6] Nur Cahyo, Pengalihan Pekerjaan Penunjang perusahaan dengan Sistem Outsourcing (Alih Daya) Menurut Undang-undang No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Studi Kasus pada Asuransi Astra Buana), Tesis Magister Hukum FHUI, Depok, 2006, hal.56.
[7] Terkutip dalam Nur Cahyo, ibid., hal 57.
[8] Chandra Suwondo, Outsourcing; Implementasi di Indonesia, Elex Media Computindo, Jakarta, hal 2.
[9] Muzni Tambusai, Pelaksanaan Outsourcing (Alih Daya) ditinjau dari aspek hukum ketenagakerjaan tidak mengaburkan hubungan industrial, http://www.nakertrans.go.id/arsip berita/naker/outsourcing.php. 29 Mei 2005.
[10] Tulisan ini mengkhususkan membahas outsourcing (Alih Daya) yang berupa penyediaan jasa pekerja/buruh, sedang outsourcing (Alih Daya) berupa pemborongan pekerjaan hanya akan diulas sekilas dari segi definisi, dan dalam kaitan dengan core business. Dalam UU No.13 Tahun 2003, istilah outsourcing (Alih Daya) dapat diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan tenaga kerja, namun pada rancangan UU Tenaga Kerja yang baru (yang kini sedang dikaji ulang), pengertian outsourcing (Alih Daya) tampaknya akan disempitkan menjadi penyediaan jasa pekerja, sementara pemborongan pekerjaan ldiartikan sebagai sub-kontrak.
[11] Draft Revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diakses dari Sabar Sianturi, pembicara pada Seminar tentang Outsourcing (Alih Daya) dan Permasalahannya, 12 April 2006, Hotel Aryaduta, diselenggarakan oleh PPM.
[12] Pasal 66 ayat (1) UU No.13 tahun 2003
[13] Pasal 66 ayat (2) UU No.13 Tahun 2003
[14] Pasal 66 ayat (3) UU No.13 Tahun 2003
[15] Pasal 66 ayat (4) UU No.13 Tahun 2003
[16] R.Djokopranoto, Outsourcing (Alih Daya) dalam No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan (Perspektif Pengusaha), Materi Seminar disampaikan pada Seminar Outsourcing: Process and Mangement, World Trade Center Jakarta,13-14 oktober 2005, hal.5.
[17] Ibid., hal.6.
[18] Ibid., hal 7.
[19] Ibid., hal.8
[20] Ibid., hal.5
[21] Berdasarkan informasi dari Bapak Ali Nursal, General Manager PT.Outsourcing (Alih Daya) Indonesia
[22] Pelaporan dokumen tentang pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang diatur pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : 220/MEN/X/2004 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
[23] Pasal 65 ayat (2) UU No.13 tahun 2003
[24] Pasal 66 ayat 2) butir a,b dan c UU No.13 tahun 2003
[25] Mengenai PKWT dan PKWTT lihat pasal 56-60 UU No.13 Tahun 2003
[27] Berdasarkan informasi dari Bpk. Yayan Hernayanto, Corporate Legal, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, 4 Agustus 2006.
TENAGA KERJA PADA PERUSAHAAN:
(Tinjauan Yuridis terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) *
oleh Pan Mohamad Faiz
Abstrak:
Dalam pengertian umum, istilah outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai contract (work) out seperti yang tercantum dalam Concise Oxford Dictionary, sementara mengenai kontrak itu sendiri diartikan sebagai berikut:[6]
“ Contract to enter into or make a contract. From the latin contractus, the past participle of contrahere, to draw together, bring about or enter into an agreement.” (Webster’s English Dictionary)
Pengertian outsourcing (Alih Daya) secara khusus didefinisikan oleh Maurice F Greaver II, pada bukunya Strategic Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing: Decisions and Initiatives, dijabarkan sebagai berikut :[7]
“Strategic use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal staff and respurces.”
Menurut definisi Maurice Greaver, Outsourcing (Alih Daya) dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama
Beberapa pakar serta praktisi outsourcing (Alih Daya) dari Indonesia juga memberikan definisi mengenai outsourcing, antara lain menyebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) dalam bahasa Indonesia disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa outsourcing).[8] Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Muzni Tambusai, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mendefinisikan pengertian outsourcing (Alih Daya) sebagai memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan.[9]
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan dalam memandang outsourcing (Alih Daya) yaitu terdapat penyerahan sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain.
I. Pendahuluan
Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan dihasilkan sejumlah produk dan jasa memiliki kualitas yang memiliki daya saing di pasaran. Dalam iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production).[1] Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.[2] Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak.[3] Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja[4] pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004).Pengaturan tentang outsourcing (Alih Daya) ini sendiri masih dianggap pemerintah kurang lengkap.
Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi disebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan menteri tenaga kerja untuk membuat draft revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.[5] Outsourcing tidak dapat dipandang secara jangka pendek saja, dengan menggunakan outsourcing perusahaan pasti akan mengeluarkan dana lebih sebagai management fee perusahaan outsourcing. Outsourcing harus dipandang secara jangka panjang, mulai dari pengembangan karir karyawan, efisiensi dalam bidang tenaga kerja, organisasi, benefit dan lainnya. Perusahaan dapat fokus pada kompetensi utamanya dalam bisnis sehingga dapat berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal intern perusahaan yang bersifat penunjang (supporting) dialihkan kepada pihak lain yang lebih profesional. Pada pelaksanaannya, pengalihan ini juga menimbulkan beberapa permasalahan terutama masalah ketenagakerjaan.
Problematika mengenai outsourcing (Alih Daya) memang cukup bervariasi. Hal ini dikarenakan penggunaan outsourcing (Alih Daya) dalam dunia usaha di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu memadai untuk mengatur tentang outsourcing yang telah berjalan tersebut. Secara garis besar permasalahan hukum yang terkait dengan penerapan outsourcing (Alih Daya) di Indonesia sebagai berikut:
1. Bagaimana perusahaan melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core business) dan pekerjaan penunjang perusahaan (non core bussiness) yang merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing (Alih Daya) ?
2. Bagaimana hubungan hukum antara karyawan outsourcing (Alih Daya) den perusahaan pengguna jasa outsourcing ?
3. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa bila ada karyawan outsource yang melanggar aturan kerja pada lokasi perusahaan pemberi kerja?
II. Definisi Outsourcing
Dalam pengertian umum, istilah outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai contract (work) out seperti yang tercantum dalam Concise Oxford Dictionary, sementara mengenai kontrak itu sendiri diartikan sebagai berikut:[6] “ Contract to enter into or make a contract. From the latin contractus, the past participle of contrahere, to draw together, bring about or enter into an agreement.” (Webster’s English Dictionary)
Pengertian outsourcing (Alih Daya) secara khusus didefinisikan oleh Maurice F Greaver II, pada bukunya Strategic Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing: Decisions and Initiatives, dijabarkan sebagai berikut :[7 “Strategic use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal staff and respurces.”
Menurut definisi Maurice Greaver, Outsourcing (Alih Daya) dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasamaBeberapa pakar serta praktisi outsourcing (Alih Daya) dari Indonesia juga memberikan definisi mengenai outsourcing, antara lain menyebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) dalam bahasa Indonesia disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa outsourcing).[8] Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Muzni Tambusai, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mendefinisikan pengertian outsourcing (Alih Daya) sebagai memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan.[9] Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan dalam memandang outsourcing (Alih Daya) yaitu terdapat penyerahan sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain.
III. Pengaturan Outsourcing (Alih Daya) dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh.[10] Pada perkembangannya dalam draft revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) mengenai pemborongan pekerjaan dihapuskan, karena lebih condong ke arah sub contracting pekerjaan dibandingkan dengan tenaga kerja.[11]
Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan diuraikan terlebih dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing (Alih Daya) dalam UU No.13 tahun 2003.
Dalam UU No.13/2003, yang menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat).
Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64 dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”
Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah:
* penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis (ayat 1);
* pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, seperti yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
- dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
- merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
- tidak menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2)
* perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan hukum (ayat 3);
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan (ayat 4);
* perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam keputusan menteri (ayat 5);
* hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis antara perusahaan lain dan pekerja yang dipekerjakannya (ayat 6)
* hubungan kerja antara perusahaan lain dengan pekerja/buruh dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (ayat 7);
* bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat-syarat mengenai pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, dan syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan (ayat 8).
Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.[12] Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:[13]
* adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja;
* perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah
* perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
* perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.
Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.[14] Dalam hal syarat-syarat diatas tidak terpenuhi (kecuali mengenai ketentuan perlindungan kesejahteraan), maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.[15]
IV. Penentuan Pekerjaan Utama (Core Business) dan Pekerjaan Penunjang (Non Coree Business) dalam Perusahaan sebagai Dasar Pelaksanaan Outsourcing
Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 outsourcing (Alih Daya) dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
R.Djokopranoto dalam materi seminarnya menyampaikan bahwa :
“Dalam teks UU no 13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara usaha atau kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan pokok antara bunyi UU tersebut dengan praktek industri, yaitu bahwa yang di outsource umumnya (tidak semuanya) adalah kegiatan penunjang (non core business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada umumnya (tidak semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada potensi masalah yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah apakah pembuat dan penegak undang-undang di satu pihak dan para pengusaha dan industriawan di lain pihak mempunyai pengertian dan interpretasi yang sama mengenai istilah-istilah tersebut.”[16]Kesamaan interpretasi ini penting karena berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) hanya dibolehkan jika tidak menyangkut core business. Dalam penjelasan pasal 66 UU No.13 tahun 2003, disebutkan bahwa :
”Yang dimaksud dengan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.Interpretasi yang diberikan undang-undang masih sangat terbatas dibandingkan dengan kebutuhan dunia usaha saat ini dimana penggunaan outsourcing (Alih Daya) semakin meluas ke berbagai lini kegiatan perusahaan. Konsep dan pengertian usaha pokok atau core business dan kegiatan penunjang atau non core business adalah konsep yang berubah dan berkembang secara dinamis.[17] Oleh karena itu tidak heran kalau Alexander dan Young (1996) mengatakan bahwa ada empat pengertian yang dihubungkan dengan core activity atau core business. Keempat pengertian itu ialah :[18]
* Kegiatan yang secara tradisional dilakukan di dalam perusahaan.
* Kegiatan yang bersifat kritis terhadap kinerja bisnis.
* Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif baik sekarang maupun di waktu yang akan datang.
* Kegiatan yang akan mendorong pengembangan yang akan datang, inovasi, atau peremajaan kembali.
Interpretasi kegiatan penunjang yang tercantum dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003 condong pada definisi yang pertama, dimana outsourcing (Alih Daya) dicontohkan dengan aktivitas berupa pengontrakan biasa untuk memudahkan pekerjaan dan menghindarkan masalah tenaga kerja. Outsourcing (Alih Daya) pada dunia modern dilakukan untuk alasan-alasan yang strategis, yaitu memperoleh keunggulan kompetitif untuk menghadapi persaingan dalam rangka mempertahankan pangsa pasar, menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan.[19]
Outsourcing (Alih Daya) untuk meraih keunggulan kompetitif ini dapat dilihat pada industri-industri mobil besar di dunia seperti Nissan, Toyota dan Honda. Pada awalnya dalam proses produksi mobil, core business nya terdiri dari pembuatan desain, pembuatan suku cadang dan perakitan. Pada akhirnya yang menjadi core business hanyalah pembuatan desain mobil sementara pembuatan suku cadang dan perakitan diserahkan pada perusahaan lain yang lebih kompeten, sehingga perusahaan mobil tersebut bisa meraih keunggulan kompetitif.[20]Dalam hal outsourcing (Alih Daya) yang berupa penyediaan pekerja, dapat dilihat pada perkembangannya saat ini di Indonesia, perusahaan besar seperti Citibank banyak melakukan outsource untuk tenaga-tenaga ahli[21], sehingga interpretasi outsource tidak lagi hanya sekadar untuk melakukan aktivitas-aktivitas penunjang seperti yang didefinisikan dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003. Untuk itu batasan pengertian core business perlu disamakan lagi interpretasinya oleh berbagai kalangan. Pengaturan lebih lanjut untuk hal-hal semacam ini belum diakomodir oleh peraturan ketenagakerjaan di Indonesia.
Perusahaan dalam melakukan perencanaan untuk melakukan outsourcing terhadap tenaga kerjanya, mengklasifikasikan pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang ke dalam suatu dokumen tertulis dan kemudian melaporkannya kepada instansi ketenagakerjaan setempat.[22]
Pembuatan dokumen tertulis penting bagi penerapan outsourcing di perusahaan, karena alasan-alasan sebagai berikut :
1. Sebagai bentuk kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan tentang ketenagakerjaan dengan melakukan pelaporan kepada Dinas Tenaga Kerja setempat;
2. Sebagai pedoman bagi manajemen dalam melaksanakan outsourcing pada bagian-bagian tertentu di perusahaan;
3. Sebagai sarana sosialisasi kepada pihak pekerja tentang bagian-bagian mana saja di perusahaan yang dilakukan outsourcing terhadap pekerjanya;
4. Meminimalkan risiko perselisihan dengan pekerja, serikat pekerja, pemerintah serta pemegang saham mengenai keabsahan dan pengaturan tentang outsourcing di Perusahaan.
V. Perjanjian dalam Outsourcing
Hubungan kerjasama antara Perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing tentunya diikat dengan suatu perjanjian tertulis. Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) dapat berbentuk perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh. Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat sah perjanjian seperti yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
1. Sepakat, bagi para pihak;
2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Sebab yang halal.
Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) juga tidak semata-mata hanya mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak sesuai pasal 1338 KUH Perdata, namun juga harus memenuhi ketentuan ketenagakerjaan, yaitu UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam penyediaan jasa pekerja, ada 2 tahapan perjanjian yang dilalui yaitu:
1. Perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia pekerja/buruh ;
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :[23]
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Dalam hal penempatan pekerja/buruh maka perusahaan pengguna jasa pekerja akan membayar sejumlah dana (management fee) pada perusahaan penyedia pekerja/buruh
2. perjanjian perusahaan penyedia pekerja/buruh dengan karyawan
Penyediaan jasa pekerja atau buruh untuk kegiatan penunjang perusahaan hatus memenuhi syarat sebagai berikut :[24]
a. adanya hubungan kerja antara pekerja atau buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan dan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak;
c. perlindungan usaha dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Dengan adanya 2 (dua) perjanjian tersebut maka walaupun karyawan sehari-hari bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan namun ia tetap berstatus sebagai karyawan perusahaan penyedia pekerja. Pemenuhan hak-hak karyawan seperti perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul tetap merupakan tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja.
Perjanjian kerja antara karyawan dengan perusahaan outsourcing (Alih Daya) dapat berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)[25].
Perjanjian kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan outsourcing biasanya mengikuti jangka waktu perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing. Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan pengguna jasa outsourcing hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan outsourcing, maka pada waktu yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja antara karyawan dengan perusahaan outsource. Bentuk perjanjian kerja yang lazim digunakan dalam outsourcing adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Bentuk perjanjian kerja ini dipandang cukup fleksibel bagi perusahaan pengguna jasa outsourcing, karena lingkup pekerjaannya yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan perusahaan.
Karyawan outsourcing walaupun secara organisasi berada di bawah perusahaan outsourcing, namun pada saat rekruitment, karyawan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pihak perusahaan pengguna outsourcing. Apabila perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing berakhir, maka berakhir juga perjanjian kerja antara perusahaan outsourcing dengan karyawannya.
VI. Hubungan Hukum antara Karyawan Outsourcing (Alih Daya) dengan Perusahaan Pengguna Outsourcing
Hubungan hukum Perusahaan Outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) diikat dengan menggunakan Perjanjian Kerjasama, dalam hal penyediaan dan pengelolaan pekerja pada bidang-bidang tertentu yang ditempatkan dan bekerja pada perusahaan pengguna outsourcing. Karyawan outsourcing (Alih Daya) menandatandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing (Alih Daya) sebagai dasar hubungan ketenagakerjaannya. Dalam perjanjian kerja tersebut disebutkan bahwa karyawan ditempatkan dan bekerja di perusahaan pengguna outsourcing.
Dari hubungan kerja ini timbul suatu permasalahan hukum, karyawan outsourcing (Alih Daya) dalam penempatannya pada perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) harus tunduk pada Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku pada perusahaan pengguna oustourcing tersebut, sementara secara hukum tidak ada hubungan kerja antara keduanya.
Hal yang mendasari mengapa karyawan outsourcing (Alih Daya) harus tunduk pada peraturan perusahaan pemberi kerja adalah :[26]
1. Karyawan tersebut bekerja di tempat/lokasi perusahaan pemberi kerja;
2. Standard Operational Procedures (SOP) atau aturan kerja perusahaan pemberi kerja harus dilaksanakan oleh karyawan, dimana semua hal itu tercantum dalam peraturan perusahaan pemberi kerja;
3. Bukti tunduknya karyawan adalah pada Memorandum of Understanding (MoU) antara perusahaan outsource dengan perusahaan pemberi kerja, dalam hal yang menyangkut norma-norma kerja, waktu kerja dan aturan kerja. Untuk benefit dan tunjangan biasanya menginduk perusahaan outsource.
Dalam hal terjadi pelanggaran yang dilakukan pekerja, dalam hal ini tidak ada kewenangan dari perusahaan pengguna jasa pekerja untuk melakukan penyelesaian sengketa karena antara perusahaan pengguna jasa pekerja (user) dengan karyawan outsource secara hukum tidak mempunyai hubungan kerja, sehingga yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja, walaupun peraturan yang dilanggar adalah peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja (user).
Peraturan perusahaan berisi tentang hak dan kewajiban antara perusahaan dengan karyawan outsourcing. Hak dan kewajiban menggambarkan suatu hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan, dimana kedua pihak tersebut sama-sama terikat perjanjian kerja yang disepakati bersama. Sedangkan hubungan hukum yang ada adalah antara perusahaan Outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pengguna jasa, berupa perjanjian penyediaan pekerja. Perusahaan pengguna jasa pekerja dengan karyawan tidak memiliki hubungan kerja secara langsung, baik dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Apabila ditinjau dari terminologi hakikat pelaksanaan Peraturan Perusahaan, maka peraturan perusahaan dari perusahaan pengguna jasa tidak dapat diterapkan untuk karyawan outsourcing (Alih Daya) karena tidak adanya hubungan kerja. Hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan kerja antara karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan outsourcing, sehingga seharusnya karyawan outsourcing (Alih Daya) menggunakan peraturan perusahaan outsourcing, bukan peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja.
Karyawan outsourcing yang ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing tentunya secara aturan kerja dan disiplin kerja harus mengikuti ketentuan yang berlaku pada perusahaan pengguna outsourcing. Dalam perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna outsourcing harus jelas di awal, tentang ketentuan apa saja yang harus ditaati oleh karyawan outsourcing selama ditempatkan pada perusahaan pengguna outsourcing. Hal-hal yang tercantum dalam peraturan perusahaan pengguna outsourcing sebaiknya tidak diasumsikan untuk dilaksanakan secara total oleh karyawan outsourcing.
Misalkan masalah benefit, tentunya ada perbedaan antara karyawan outsourcing dengan karyawan pada perusahaan pengguna outsourcing. Hal-hal yang terdapat pada Peraturan Perusahaan yang disepakati untuk ditaati, disosialisasikan kepada karyawan outsourcing oleh perusahaan outsourcing. Sosialisasi ini penting untuk meminimalkan tuntutan dari karyawan outsourcing yang menuntut dijadikan karyawan tetap pada perusahaan pengguna jasa outsourcing, dikarenakan kurangnya informasi tentang hubungan hukum antara karyawan dengan perusahaan pengguna outsourcing.
Perbedaan pemahaman tesebut pernah terjadi pada PT Toyota Astra Motor, salah satu produsen mobil di Indonesia. Dimana karyawan outsourcing khusus pembuat jok mobil Toyota melakukan unjuk rasa serta mogok kerja untuk menuntut dijadikan karyawan PT Toyota Astra Motor. Hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi mengenai status hubungan hukum mereka dengan PT Toyota Astra Motor selaku perusahaan pengguna outsourcing.[27]
VII. Penyelesaian Perselisihan dalam Outsourcing (Alih Daya)
Dalam pelaksanaan outsourcing (Alih Daya) berbagai potensi perselisihan mungkin timbul, misalnya berupa pelanggaran peraturan perusahaan oleh karyawan maupun adanya perselisihan antara karyawan outsource dengan karyawan lainnya. Menurut pasal 66 ayat (2) huruf c UU No.13 Tahun 2003, penyelesaian perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja. Jadi walaupun yang dilanggar oleh karyawan outsource adalah peraturan perusahaan pemberi pekerjaan, yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja.
Dalam hal ini perusahaan outsource harus bisa menempatkan diri dan bersikap bijaksana agar bisa mengakomodir kepentingan karyawan, maupun perusahaan pengguna jasa pekerja, mengingat perusahaan pengguna jasa pekerja sebenarnya adalah pihak yang lebih mengetahui keseharian performa karyawan, daripada perusahaan outsource itu sendiri. Ada baiknya perusahaan outsource secara berkala mengirim pewakilannya untuk memantau para karyawannya di perusahaan pengguna jasa pekerja sehingga potensi konflik bisa dihindari dan performa kerja karyawan bisa terpantau dengan baik.
VIII. Kesimpulan
Outsourcing (Alih daya) sebagai suatu penyediaan tenaga kerja oleh pihak lain dilakukan dengan terlebih dahulu memisahkan antara pekerjaan utama (core business) dengan pekerjaan penunjang perusahaan (non core business) dalam suatu dokumen tertulis yang disusun oleh manajemen perusahaan. Dalam melakukan outsourcing perusahaan pengguna jasa outsourcing bekerjasama dengan perusahaan outsourcing, dimana hubungan hukumnya diwujudkan dalam suatu perjanjian kerjasama yang memuat antara lain tentang jangka waktu perjanjian serta bidang-bidang apa saja yang merupakan bentuk kerjasama outsourcing. Karyawan outsourcing menandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing untuk ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing.
Karyawan outsourcing selama ditempatkan diperusahaan pengguna jasa outsourcing wajib mentaati ketentuan kerja yang berlaku pada perusahaan outsourcing, dimana hal itu harus dicantumkan dalam perjanjian kerjasama. Mekanisme Penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan diselesaikan secara internal antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing, dimana perusahaan outsourcing seharusnya mengadakan pertemuan berkala dengan karyawannya untuk membahas masalah-masalah ketenagakerjaan yang terjadi dalam pelaksanaan outsourcing.
Dewasa ini outsourcing sudah menjadi trend dan kebutuhan dalam dunia usaha, namun pengaturannya masih belum memadai. Sedapat mungkin segala kekurangan pengaturan outsourcing dapat termuat dalam revisi UU Ketenagakerjaan yang sedang dipersiapkan dan peraturan pelaksanaanya, sehingga dapat mengakomodir kepentingan pengusaha dan melindungi kepentingan pekerja.
***
Catatan Kaki:
[1] Wirawan, Rubrik Hukum Teropong,Apa yang dimaksud dengan sistem outsourcing?, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0504/31/teropong/komenhukum.htm
[2] ibid
[3] Artikel “Outsource dipandang dari sudut perusahaan pemberi kerja”, http://www.apindo.or.id, diakses tanggal 4 Agustus 2006
[4] Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 TentangKetenagakerjaan,
[5] Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi memuat hal-hal yang dituntut untuk dilakukan revisi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu : Pemutusan Hubungan Kerjam Perjanjian kerja Waktu Tertentu, Perhitungan Pesangon, Ijin tenaga Kerja Asing dan istirahat panjang.
[6] Nur Cahyo, Pengalihan Pekerjaan Penunjang perusahaan dengan Sistem Outsourcing (Alih Daya) Menurut Undang-undang No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Studi Kasus pada Asuransi Astra Buana), Tesis Magister Hukum FHUI, Depok, 2006, hal.56.
[7] Terkutip dalam Nur Cahyo, ibid., hal 57.
[8] Chandra Suwondo, Outsourcing; Implementasi di Indonesia, Elex Media Computindo, Jakarta, hal 2.
[9] Muzni Tambusai, Pelaksanaan Outsourcing (Alih Daya) ditinjau dari aspek hukum ketenagakerjaan tidak mengaburkan hubungan industrial, http://www.nakertrans.go.id/arsip berita/naker/outsourcing.php. 29 Mei 2005.
[10] Tulisan ini mengkhususkan membahas outsourcing (Alih Daya) yang berupa penyediaan jasa pekerja/buruh, sedang outsourcing (Alih Daya) berupa pemborongan pekerjaan hanya akan diulas sekilas dari segi definisi, dan dalam kaitan dengan core business. Dalam UU No.13 Tahun 2003, istilah outsourcing (Alih Daya) dapat diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan tenaga kerja, namun pada rancangan UU Tenaga Kerja yang baru (yang kini sedang dikaji ulang), pengertian outsourcing (Alih Daya) tampaknya akan disempitkan menjadi penyediaan jasa pekerja, sementara pemborongan pekerjaan ldiartikan sebagai sub-kontrak.
[11] Draft Revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diakses dari Sabar Sianturi, pembicara pada Seminar tentang Outsourcing (Alih Daya) dan Permasalahannya, 12 April 2006, Hotel Aryaduta, diselenggarakan oleh PPM.
[12] Pasal 66 ayat (1) UU No.13 tahun 2003
[13] Pasal 66 ayat (2) UU No.13 Tahun 2003
[14] Pasal 66 ayat (3) UU No.13 Tahun 2003
[15] Pasal 66 ayat (4) UU No.13 Tahun 2003
[16] R.Djokopranoto, Outsourcing (Alih Daya) dalam No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan (Perspektif Pengusaha), Materi Seminar disampaikan pada Seminar Outsourcing: Process and Mangement, World Trade Center Jakarta,13-14 oktober 2005, hal.5.
[17] Ibid., hal.6.
[18] Ibid., hal 7.
[19] Ibid., hal.8
[20] Ibid., hal.5
[21] Berdasarkan informasi dari Bapak Ali Nursal, General Manager PT.Outsourcing (Alih Daya) Indonesia
[22] Pelaporan dokumen tentang pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang diatur pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : 220/MEN/X/2004 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
[23] Pasal 65 ayat (2) UU No.13 tahun 2003
[24] Pasal 66 ayat 2) butir a,b dan c UU No.13 tahun 2003
[25] Mengenai PKWT dan PKWTT lihat pasal 56-60 UU No.13 Tahun 2003
[27] Berdasarkan informasi dari Bpk. Yayan Hernayanto, Corporate Legal, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, 4 Agustus 2006.
Minggu, 10 April 2011
Jurnal Aspek Hukum Dalam Ekonomi
PERKEMBANGAN DOKTRIN TINDAKAN NEGARA (ACT OF STATE DOCTRINE) SETELAH KONSEP KEKEBALAN NEGARA (TEORI IMUNITAS)
Moch. Basarah
Abstract
The concept of absolute immunity is not longer preserved because of recognition against act of state doctrine. However, notwithstanding the cease of the concept, the protection of state sovereignty remains firmly in place. The protection of absolute immunity can be granted when a state act in iure imperii, but not it related to matters of a commercial nature. Act of state doctrine will be deemed as a state act, provided that it is conducted within the territorial jurisdiction. Thus, the doctrine can be use to determine whether it is iure imperii or iure gestiones.
Kata kunci: imunitas mutlak, kekebalan negara, act of state doctrine.
A. Pendahuluan
Kedaulatan merupakan aspek utama dalam pergaulan negara yang satu dengan lainnya (dan organisasi-organisasi negara) yang diatur oleh hukum. Brownlie mengatakan bahwa kedaulatan suatu negara akan menentukan bentuk hukum negara tersebut sedangkan hukum akan menentukan syarat adanya kedaulatan. Pengertian kedaulatan ini memang merupakan kata yang sulit karena dapat menimbulkan arti yang berlainan. Jika arti kedaulatan itu dimaksudkan bahwa negara mempunyai kekuasaan tertinggi, maka pengertian inilah yang banyak menimbulkan salah paham Karena tidak mungkin hukum internasional mengikat negara, jika negara merupakan kekuasaan tertinggi yang tidak mengakui kekuasaan yang lebih tinggi.
Pengertian kedaulatan negara ini apabila dikaitkan dengan tindakan negara (act of State) misal pengambilalihan hak milik orang asing, pencabutan ijin usaha orang asing dan sebagainya ternyata mengalami perkembangan yang pesat. Permasalahan yang timbul dari tindakan negara tersebut adalah apakah tindakan negara dari suatu negara berdaulat dapat dituntut oleh suatu pengadilan di luar wilayahnya.Gerald Fitzmaurice mengemukakan dua hal; (a) mengakui kekebalan negara secara mutlak dari proses persidangan apapun kecuali atas kesukarelaan; (b) membedakan antara tindakan negara dan tindakan non negara, dengan mengakui kekebalan bagi tindakan negara dan menolak kekebalan bagi tindakan non negara.
Pada mulanya konsep kekebalan negara yang dianut adalah kekebalan mutlak, namun konsep kekebalan mutlak ini hanya bisa bertahan sampai abad ke 19.Hal tersebut disebabkan karena terjadinya praktek hukum pengakuan terhadap doktrin tindakan negara, sehingga pendukung doktrin kekebalan absolut menjadi berkurang. Karena pada kenyataanya penerapan kekebalan absolut sangat sulit dilakukan. Namun demikian, dalam yurisprudensi beberapa negara, perlindungan terhadap suatu negara dalam bentuk imunitas kedaulatannya, hanya diberikan apabila negara yang bersangkutan telah bertindak dalam kualitasnya sebagai suatu negara dengan kekuatan politisnya bukan sebagai pedagang
Di Inggris penerapan konsep kekebalan negara sangat dibatasi, yang hanya dapat diterapkan pada aktivitas-aktivitas publik dan pemilikan hak untuk tujuan publik. Sedangkan Amerika Serikat, kekebalan negara ditolak jika tindakan-tindakan negara yang dilakukan tidak berkaitan dengan fungsi pemerintah. Sedangkan di Belanda dan Jerman kekebalan negara hanya diberikan terhadap tindakan negara dalam kapasitasnya sebagai imperium. Tetapi dalam praktek khususnya di Belanda tidak dapat menerapkan konsep tindakan negara atas hak milik orang asing (property) dan aktivitas-aktivitas negara asing berdasarkan kedaulatannya. Karena sulitnya untuk membedakan antara tindakan negara dalam kapasitasnya sebagai negara berdaulat (acta imperii) dan tindakan negara dalam melakukan aktivitas ekonomi (acta gestionis), terutama sebelum tahun 1943.
Perbedaan pendapat antara penerapan konsep kekebalan negara yang mutlak (absolut) dan kenyataan dalam praktek berbeda di setiap negara. Disatu pihak banyak perusahaan negara maju yang telah melakukan investasi untuk mengembangkan usahanya di negara lain. Tetapi dilain pihak dalam beberapa kasus terdapat tindakan negara yang diadili pengadilan asing berkenaan dengan pengambilalihan namun tidak pernah dilakukan eksekusi atas putusan pengadilan asing tersebut.
1. Teori Imunitas
Konsep kekebalan negara sebenarnya telah menjadi pusat perhatian dan perdebatan para ahli hukum internasional sejak abad ke 19. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terdapat suatu fenomena baru yaitu usaha kodifikasi hukum internasional yang mendorong ke arah penetapan posisi negara-negara dan kelompok-kelompok negara dalam kaitannya dengan kekebalan negara. Terhadap masalah kekebalan negara, menunjukan bahwa perkembangan hukum kekebalan negara tidak perlu membahasnya secara khusus, karena sebagian besar sumber hukum kekebalan negara diperoleh dari keputusan-keputusan pengadilan sebagai bukti praktek negara dalam bidang ini. Tetapi saat ini terdapat kecenderungan ke arah pembatasan kekebalan negara pada tingkatan-tingkatan tertentu yang disebut iure imperii. Oleh karena itu, tidak ada negara yang mengeluarkan kebijaksanaan yang bertentangan dengan kecenderungan ini.
Adanya kecenderungan untuk membatasi kekebalan negara, masalah kekebalan negara dari yurisdiksi negara lain tetap merupakan bagian penting hukum internasional. Karena kekebalan negara pada dasarnya mencerminkan struktur hubungan internasional yang diatur oleh hukum internasional. Dan salah satu ciri kedaulatan adalah kekebalan negara dari campur tangan atau gangguan dalam pergaulan internasional. Oleh karena itu, masalah kedaulatan sangat erat hubungannya dengan yurisdiksi negara. Namun, dalam hukum internasional prinsip kekebalan negara harus diartikan sebagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban (positif), agar prinsip ini dapat mendefinisikan tindakan-tindakan yang melanggar dan tidak melanggar hukum.
Terhadap konsep kekebalan negara sebagian ahli memandang adanya perkembangan yang dapat mengubah konsep klasik kekebalan negara, karena turut campurnya negara dalam bidang perekonomian nasional dan internasional yang semakin meluas. Keadaan ini merupakan latar belakang sosial perubahan konsep kekebalan negara yang merupakan perubahan sifat, dan fungsi negara pada umumnya. Seperti, pembentukan perusahaan-perusahaan milik negara, monopoli perdagangan asing dan berbagai bentuk perdagangan yang dilakukan oleh negara, menyebabkan perubahan-perubahan penting dalam hukum kekebalan negara.
Namun yang terpenting adalah bahwa kekebalan negara hanya berlaku dalam kasus-kasus di mana kekebalan negara dapat berfungsi menjamin kepentingan negara atau kepentingan masyarakat internasional secara keseluruhan, bukan untuk hubungan ekonomi biasa Karena pada umumnya pada hubungan ekonomi internasional terdapat dua bentuk (1) Suatu negara dapat menjalin hubungan langsung dengan negara-negara lain sebagai pemerintah; (2) hubungan melalui perusahaan-perusahaan negara yang tidak bertindak atas nama negara.
Lain halnya jika perusahaan-perusahaan negara dianggap sebagai organ negara dalam kaitannya dengan konsep hukum internasional, maka dalam keadaan-keadaan tertentu perusahaan negara berhak menuntut kekebalan. Karena tidak ada ukuran-ukuran yang diakui secara universal dalam hukum internasional untuk mendefinisikan perusahaan negara sebagai organ negara atau kekayaan negara. Karena dilain pihak perusahaan milik negara dipandang sebagai badan hukum terpisah dan memliki otonomi finansial dan ekonomi tertentu. Sedangkan menurut Undang-undang Hukum Perdata negara-negara sosialis di Eropa, perusahaan milik negara tidak bertanggung jawab atas utang negara, demikian pula negara tidak bertanggung jawab atas utang perusahaan negara. Perlu pula diketahui bahwa perusahaan negara meskipun tidak diakui sebagai pemilik asetnya, tapi dapat bertindak untuk kepentingan sendiri baik tanggung jawab maupun kewajibannya.
Dalam hal ini yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa kedudukan perusahaan milik negara harus ditentukan berdasarkan lex personalis yaitu atas dasar hukum negara pemilik, kecuali perusahaan-perusahaan yang didirikan di luar negeri harus tunduk pada peraturan-peraturan negara bersangkutan. Pengadilan negara Barat berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan milik negara tidak berhak atas kekebalan di bawah hukum internasional, karena perusahaan negara bukan merupakan kekayaan umum negara. Oleh karena itu, bagi masalah-masalah lainnya diatur oleh hukum perdata internasional bukan oleh hukum internasional publik.
KPE Lasok dalam membahas kasus Rorimplex, berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan milik negara pada umumnya tidak memiliki keinginan sendiri, tapi hanya menjalankan keinginan Pemerintah. Namun, dalam beberapa hal organ negara mempunyai hak untuk mengadakan perjanjian dengan perusahaan-perusahaan atau individu-individu dari negara lain (asing), meskipun kedudukannya untuk melakukan kegiatan ekonomi atau bisnis nampaknya sulit.
Keragaman isi kontrak yang dilakukan oleh organ negara, memberikan bukti bahwa hukum kontrak sangat berbeda dari kasus ke kasus dan dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi pada penerapan kekebalan negara. Oleh karena itu, pemberian kekebalan bagi negara yang terlibat dalam kontrak antar negara dapat memperkuat kedudukan hukum, ekonomi dan politik negara-negara tersebut dalam hubungan mereka dengan perusahan-perusahaan asing. Berdasarkan hal tersebut tidak realistis jika kekebalan negara hanya dapat diperluas ke dalam jenis-jenis kontrak antar negara tertentu.
2. Doktrin Tindakan Negara (Act of State Doctrine)
Dalam hubungannya dengan kekebalan negara, terdapat sebuah doktrin yang disebut doktrin tindakan negara (Act of State Doctrine) atau Secondary Immunity. Doktrin tindakan negara telah lama menjadi bagian yang tidak tersentuh oleh perubahan yurisprudensi Inggris. Di Inggris dan Amerika Serikat kasus-kasus tindakan negara relatif langka dan kurang mendapat perhatian selama bertahun-tahun sebelum kasus Sabbatino. Tetapi kasus-kasus yang terjadi telah memperlihatkan suatu indikasi bahwa doktrin tindakan negara akan cukup penting dimasa mendatang. Sebagaimana timbulnya aktivitas-aktivitas negara dalam bidang ekonomi. Doktrin ini tampaknya baru dapat diberlakukan, jika perisai kekebalan negara dapat ditembus.
Doktrin ini merupakan aturan sebagai langkah kedua yang dapat dijadikan pedoman oleh pengadilan dalam memberikan putusan. Apakah peraturan hukum negara asing dapat diberlakukan jika negara asing tersebut bertindak dalam yurisdiksinya. Doktrin ini tidak jauh berbeda dengan doktrin kedaulatan, karena kedua doktrin tersebut pertimbangannya atas dasar yang sama yaitu menghormati kedaulatan negara lain.
Pengertian doktrin tindakan negara tidak saja mencakup pelaksanaan kedaulatan oleh kekuasaan eksekutif atau administratif dari suatu negara merdeka dan berdaulat, atau aparat-aparatnya atau pejabat-pejabatnya yang sah. Tetapi merupakan tindakan-tindakan legislatif dan administratif seperti Undang-undang, dan Peraturan Pemerintah[. Oleh karena itu, doktrin tindakan negara akan muncul dalam berbagai bentuknya, seperti suatu doktrin pemerintah asing untuk menyita harta kekayaan di dalam yurisdiksinya yang dipermasalahkan oleh pihak swasta yang mendasarkan keabsahan haknya atas suatu pembelian dari pemerintah asing.
Di negara-negara Anglo Saxon, Inggris dan Amerika serikat, hakim-hakimnya telah memegang teguh doktrin tindakan negara ini. Jika suatu tindakan berasal dari negara berdaulat yang diakui oleh pemerintah negara mereka, maka hakim di negara-negara Anglo Saxon akan menyatakan tidak berwenang untuk mengadakan pengujian terhadap perbuatan-perbuatan negara yang telah diakui sebagai negara berdaulat (iure imperii). Contoh klasik doktrin tindakan negara telah diterapkan pada kasus Luther lawan Sagor di Pengadilan Inggris pada tahun 1921, dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin tindakan negara tidak memiliki otoritas lebih tinggi dibandingkan dengan sejumlah putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, seperti dalam perkara Underhill.
Namun, tampaknya putusan pengadilan Inggris telah memberikan pengaruh lebih penting dalam penerapan doktrin ini. Prinsip doktrin tindakan negara dalam bentuknya yang modern dapat diketahui dari kasus Hatch lawan Baez. Hakim Gilbert yang menangani kasus tersebut menyatakan :
“Berdasarkan sikap saling menghormati di antara bangsa-bangsa dan hukum internasional, pengadilan suatu negara tidak dapat mengadili tindakan-tindakan dari pemerintah negara lain yang dilakukan di dalam wilayahnya sendiri”
Dalam kasus tersebut, sebagaimana telah diputuskan oleh Hakim Gilbert tindakan-tindakan yang dilakukan oleh tergugat sesuai dengan kapasitasnya sebagai Presiden Republik San Domingo, yang dianggap cukup untuk dijadikan dasar keputusan Pengadilan mengenai kekebalan pribadi yang dinikmati pejabat-pejabat pemerintah negara asing atas tindakannya yang dilakukan sesuai kapasitasnya. Sehubungan dengan hal tersebut, pengadilan menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
“Meskipun individu tersebut kebal terhadap gugatan pengadilan asing, tetapi pelaksanaan kedaulatan suatu negara harus memelihara perdamaian dan harmonisasi di antara bangsa-bangsa”
Dari simpulan ini tampak bukan saja negara yang dipandang mempunyai kekebalan (ratione personae), tetapi juga tindakan-tindakannya harus dianggap kebal dan tidak dapat diuji oleh hakim asing. Inilah suatu imunitas ratione materae atau juga doktrin tindakan negara.
Untuk mengantisipasi kasus-kasus selanjutnya, perlu adanya keselarasan antara pengadilan dengan pihak organ negara terkait, terutama dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan negara asing yang berdaulat untuk menerapkan dan mengakui hak-hak negara asing yang didasarkan pada niat baik yang dituntut pada kehidupan masyarakat internasioal yang merupakan bangsa-bangsa beradab.
Di samping itu, batas-batas doktrin tindakan negara dapat ditemui melalui peraturan-peraturan yang biasa digunakan dalam Conflict of Laws. Sehubungan dengan hal tersebut dapat dikemukakan : (a) jika negara asing yang berdaulat atau wakil-wakilnya sebagai tergugat, caedit questio, berlaku doktrin kekebalan negara; (b) jika tindakan negara tersebut menimbulkan gugatan di antara pihak-pihak swasta, dan sengketa tersebut kemudian mengarah pada hukum asing, maka hukum yang berlaku adalah hukum perdata internasional; (c) jika kerugian dilakukan berdasarkan lex loci delicti commisi, maka pengadilan forum harus menanganinya jika tergugat setuju atas gugatan tersebut; (d) jika suatu konfiskasi atas harta benda telah terjadi, maka lex rei sitae akan berlaku, jia tidak bertentangan dengan hukum internasional; (e) jika keabsahan suatu Undang-undang negara asing menjadi masalah, maka hakim harus dapat menempatkan kedudukannya agar tidak bertentangan dengan negara asing tersebut.
Bankes, yang melakukan pendekatan dari segi hukum perdata internasional, mengatakan bahwa pada kenyataannya lex rei sitae didasarkan pada pertimbangan kebijaksanaan publik negara forum (public policy of the forum) yang tidak dapat dihindari. Selanjutnya Warrington mengatakan, bahwa pada prinsipnya keabsahan tindakan-tindakan suatu negara yang merdeka dan berdaulat, baik yang berkaitan dengan harta benda maupun orang tidak dapat diuji oleh pengadilan suatu negara selama tindakan tersebut berada dalam yurisdiksinya.
Berdasarkan uraian di atas, bermacam-macam pendapat mengenai doktrin tindakan negara, tidak perlu dibandingkan apakah doktrin tersebut merupakan ketentuan hukum internasional publik atau apakah harus dikarakteristikan sebagai ketentuan hukum perdata intenasional. Karena tidak ada prinsip hukum internasional publik yang mensyaratkan penerimaan ketentuan tersebut melalui pengadilan nasional. Dan tidak pernah ada gugatan di pengadilan internasional sebagai akibat gagalnya menerapkan doktrin tindakan negara.
C. Praktek Act of State Doctrin Yang Melibatkan Indonesia
Dalam perkara ini penggugat (Industrial Invesment Development Corporation, Indonesia Industrial Invesment Corporation, Ltd. dan Forest Products Corporation Ltd.) telah mengadakan kerjasama dengan pihak PT. Telaga Mas untuk bersama-sama melakukan logging serta mengekspor kayu keberbagai negara, antara lain Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia telah memberikan kemungkinan untuk memperoleh konsesi hutan di wilayah Kalimantan melalui PT Telaga Mas. Untuk kepentingan tersebut para pihak telah membuat suatu joint venture agreement pada tahun 1970.
Pihak tergugat Mitsui (Multinational Corporation Mitsui and Co. Ltd. dan Mitsui and Co. Ltd. (USA) dianggap telah membuat suatu perjanjian dengan pihak PT. Telaga Mas yang kemudian dianggap merugikan penggugat. Pengaruh hubungan PT. Telaga Mas dan Mitsui, menyebabkan PT. TELAGA MAS tidak melanjutkan final agreement. Dengan demikian dapat diketahui putusnya hubungan hukum antara PT. Telaga Mas dengan penggugat disebabkan adanya intervensi pihak Mitsui.
Atas dasar sengketa tersebut Dirjen Kehutanan atas nama pemerintah Indonesia melarang melanjutkan persetujuan yang telah dilangsungkan antara perusahaan joint venture (penggugat dengan PT. TELAGA MAS) dengan pihak pemerintah Indonesia. Hal ini dijadikan dasar oleh pemerintah Indonesia untuk membatalkan persetujuan melalui putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menganggap bahwa pihak yang mewakili PT. TELAGA MAS dalam joint venture tidak mempunyai wewenang untuk mewakili perusahaan tersebut dalam penandatanganan joint venture agreement. Dengan demikian Pemerintah menganggap tidak dapat mengeluarkan ijin HPH kepada joint venture yang telah dibuat antara PT. TELAGA MAS dengan penggugat.
Dalam kasus ini penggugat melalui pengadilan Amerika Serikat yaitu District Court Texas meminta ganti rugi berdasarkan Antitrust Law Amerika, yaitu Sherman Act; karena menganggap adanya pelanggaran praktek anti competitive, berkenaan dengan operasi penebangan kayu dan sebagainya di Kalimantan. Pihak Mitsui telah mengajukan suatu permohonan sidang kilat, dengan mengajukan eksepsi act of State doctrine tuntutan ganti rugi penggugat terhadap pemerintah Indonesia tidak dapat dilanjutkan. Dalam tingkat pertama argumen Mitsui dibenarkan dan pengadilan menganggap bahwa penolakan suatu konsesi kehutanan untuk penebangan kayu bagi penggugat yang dilakukan oleh Dirjen Kehutanan merupakan tindakan pemerintah Indonesia yang diakui oleh Amerika Serikat. Dengan ditolaknya ijin HPH, penggugat tidak dapat mengajukan gugatan ganti rugi karena dasar penolakan ijin HPH oleh Dirjen Kehutanan RI memiliki alasan yang kuat. Menurut District Court Texas, perkara tersebut tidak termasuk wewenang hakim AS, oleh karena itu gugatan pihak penggugat tidak dapat diperiksa dan eksepsi tergugat dikabulkan.
Dalam tingkat banding pihak penggugat (Industrial Invesment Development) memperoleh putusan yang berlainan, karena dalam putusannya argumen Act of State doctrine tidak dipersoalkan, dengan perkataan lain pengadilan banding menolak argumen Act of State doctrine tergugat. dasar putusan tersebut, perkara gugatan penggugat kepada tergugat dapat dilanjutkan, untuk itu perkara harus diperiksa ulang. Pengadilan Banding menganggap bahwa argumentasi Act of State Doctrine tidak tepat digunakan karena kerugian yang terjadi disebabkan tindakan penggugat yang berkomplot dengan pihak PT. TELAGA MAS dengan tindakan mengahangi kompetisi bebas, sehingga ijin HPH ditolak oleh pemerintah Indonesia. Dengan demikian terdapat satu fase sebelum adanya penolakan ijin HPH, yang ternyata pihak tergugat telah melakukan tindakan persekongkolan dengan pihak PT. Telaga Mas yang tadinya merupakan partner penggugat.
Penggugat dalam pengadilan banding mengajukan tiga masalah agar Act of State Doctrine tidak berlaku.Para tergugat tidak dapat mengelak dari tanggung jawab untuk ganti rugi yang disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri yang tercela, perbuatan-perbuatan mana harus dilihat secara berdiri sendiri dan terpisah walaupun perbuatan dari Pemerintah Indonesia menambah kerugian yang telah diderita para penggugat; sehinga tidak diberikannya ijin HPH kepada penggugat (joint Venture) oleh pemerintah Indonesia dapat dianggap bukan sebagai tindakan Pemerintah, tapi lebih dapat dilihat seperti membuat suatu perjanjian tertentu dalam melakukan Forestry Agreement dengan joint Venture bersangkutan. Jika melihat ketentuan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1999 tentang HPH dan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi terdapat ketentuan yang menyatakan, bahwa syarat-syarat dan cara mengajukan permohonan serta cara memberikan hak pengesahan Hutan ditetapkan oleh Menteri Pertanian.
Sedangkan Pasal 11 ayat (1) mengatakan “Hak Pengusahaan Hutan diberikan oleh Menteri Pertanian setelah mendengar pendapat Gubernur/Kepala Daerah Propinsi yang bersangkutan”. Sehubungan dengan ketentuan tersebut, yang perlu diperhatikan adalah argumentasi penggugat yang menyatakan bahwa tindakan pemerintah Indonesia bukan sebagai tindakan pemerintah (berdaulat) tapi lebih dapat dilihat seperti membuat suatu perjanjian tertentu. Jika diteliti, pendapat penggugat dalam hubungannya dengan ketentuan Pasal 11 (1), tampaknya ketentuan ini tidak memberi peluang pemberian ijin HPH dengan suatu perjanjian tertentu.
Dalam kaitannya dengan kasus di atas, dapat dipastikan jika para pihak merupakan perusahaan penanaman modal asing, maka sebelum melakukan kegiatannya terlebih dulu akan mengikuti ketentuan yang umumnya dilakukan oleh perusahaan PMA yaitu menandatangani perjanjian penanaman modal asing (PMA). Baik dalam bentuk perjanjian jaminan PMA (Invesment Guaranty Agreement) maupun perjanjian penanaman modal antara perusahaannya dengan Pemerintah Indonesia yang di dalamnya terdapat klausul penyelesaian sengketa atau suatu consent yang bentuknya kesepakatan untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase ICSID. Konsekuensi dari isi klausul tersebut, bagi pihak yang wan-prestasi harus mentaatinya. Oleh karena itu, jika yang dimaksudkan pihak penggugat pemberian HPH merupakan perjanjian tertentu artinya terdapat dalam perjanjian penanaman modal, tidak mungkin jika di dalamnya tidak termasuk consent tersebut yang mengarah ke arbitrase ICSID (centre). Karena biasanya bagi pihak asing pilihan hukum atau pilihan pengadilan tersebut merupakan komponen yang sangat penting dan tidak pernah diabaikan.
Dengan demikian bagi pihak penggugat jika menganggap dengan tidak diberikannya ijin HPH oleh pihak pemerintah Indonesia sangat merugikan. Maka dengan dasar perjanjian tersebut, sebenarnya dapat melakukan gugatan secara langsung sesuai dengan ketentuan Konvensi Washington 1965 (Konvensi tentang Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1968, yaitu melalui arbitrase ICSID.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ditolaknya ijin HPH oleh pemerintah Indonesia dilakukan atas dasar tindakannya sebagai suatu negara berdaulat (public act atau iure imperii), karena jika tindakan suatu negara atas dasar tindakannya dalam kapasitas iure gestiones (commercial act) harus dilakukan oleh Perusahaan Negara (BHMN). Tindakan Pemerintah Indonesia untuk tidak memberikan ijin HPH kepada perusahaan Joint Venture tersebut dilakukan sebagai tindakan prefentif yang merupakan jalan keluar bagi pengamanan hutan karena terjadinya sengketa pihak pengelola hutan yang kemungkinan akan melalaikan kewajibannya.
Demikian pula, jika melihat latar belakang kasus ini ternyata para pihak yang keduanya merupakan perusahaan swasta asing berbadan hukum Indonesia, sesungguhnya harus mentaati ketentuan yang berlaku di Indonesia. Oleh karenanya tindakan Pemerintah Indonesia merupakan hal yang wajar, walaupun keyataannya merugikan para pihak. Karena jika kembali kepada dasar gugatan dalam proses pengadilan pertama (pengadilan District Court Texas), sesungguhnya dasar gugatan tersebut tidak dapat dilepas dari masalah pemberian ijin HPH Pemerintah Indonesia.
Dengan demikian jika tergugat mengemukakannya berdasarkan Act of State doctrine, menurut hemat penulis adalah tepat. Bahkan sampai tingkat bandingpun argumen Act of State doctrine ini dapat di pertahankan. Hal ini jelas, jika melihat pendapat penggugat yang mengatakan bahwa tindakan Pemerintah Indonesia bukan merupakan tindakan negara berdaulat yang diakui oleh Amerika sebagai negara forum. Maka dapat disimpulkan bahwa penggugat memisahkan sebab dan akibat dari perkara bersangkutan, apakah sistem hukum negara bagian Amerika Serikat menganut ketentuan ini?. Karena tidak mungkin terjadi suatu sengketa tanpa didahului oleh suatu hubungan hukum, sedangkan hubungan hukum ini merupakan dasar yang penting untuk mengajukan suatu gugatan.
Apabila melihat peraturan khusus masalah imunitas dari negara-negara yang menghadapi perkara tersebut. Secara khusus di Amerika Serikat telah dibuat peraturan yang dinamakan Fereign Soverign Immunity Act 1976. Dalam ketentuan tersebut, terdapat pengecualian umum atas imunitas mengenai yuridiksi terhadap suatu negara asing, yang dirumuskan sebagai berikut:(1) Apabila negara bersangkutan telah melakukan suatu kegiatan komersil (commercial activity) yang telah dilakukan di dalam wilayah Amerika Serikat, atau; (2) Apabila dilakukan suatu perbuatan dialam wilayah Amerika Serikat dalam hubungan dengan suatu kegiatan komersil dari negara asing di tempat lain ; (3) atau apabila suatu perbuatan di luar wilayah Amerika Serikat tetapi dalam hubungannya dengan suatu aktivitas komersil dari negara asing di luar negeri dan perbuatan tersebut telah menyebabkan suatu akibat langsung (causes a direct effect) di Amerika Serikat maka tidak berlaku imunitas.
Atas dasar peraturan khusus ini, tampaknya pengadilan di AS menerima Act of State doctrine dengan prinsip teritorialitas yaitu jika perbuatan dilakukan di dalam wilayah AS, imunitas bagi sebuah negara tidak berlaku. Hal ini menunjukan bahwa penafsiran Act of State doctrine di Amerika Serikat telah menjurus pada suatu penafsiran yang sempit, yang oleh sebagian pengamat dianggap tidak selaras dengan kondisi modern kehidupan internasional dewasa ini.
Apakah penolakan Act of State doctrinee oleh Pengadilan Banding yang menyatakan Act of State Doctrine tidak menghendaki pengadilan Amerika Serikat melindungi pihak tergugat untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka yang berdiri sendiri, merupakan akibat langsung untuk keadaan Amerika yaitu hubungan baik dengan Pemerintah Indonesia atau akibat langsungnya berupa Restraint and monopolize foreign Commerce seperti yang dianut AS dalam Antitrust Law-nya, yang memperluas jangkauan teritorialitas menjadi ekstrateritorial dengan kebijaksanaan dalam bidang perdagangan dan perekonomian non kompetitif, sehingga sebuah organisasi dapat mengajukan suatu pembelaan dari tindakan suatu negara (asing) berdasarkan antitrust Law AS.
Oleh karena itu, jika pendirian pengadilan banding di AS tersebut mengikuti tuntutan penggugat merupakan hal yang wajar karena pengadilan di A.S memperoleh otoritas untuk mempertahankan pendiriannya bukan berdasarkan hukum internasional.Pemberian otoritas ini diperoleh pengadilan-pengadilan AS sebagai konsekuensi pemisahan kekuasaan atau Separation of Powers yang dianut Undang-undang Dasar AS.
D. Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
- Kekebalan mutlak suatu negara saat ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi, karena adanya aktivitas-aktivitas negara dibidang ekonomi untuk memenuhi kesejahteraan rakyatnya.
- Berakhirnya konsep kekebalan mutlak bukan berarti negara-negara tidak mempunyai perlindungan atas kedaulatannya. Karena perlindungan kekebalan mutlak dapat diberikan jika suatu negara bertindak sesuai dengan kapasitasnya (tindakan politik) atau iure imperii. Tetapi jika suatu negara bertindak karena aktivitas-aktivitas ekonominya (commercial act) atau iure gestiones perlindungan kekebalan mutlak tidak dapat diberikan.
- Yang paling penting dalam hal doktrin tindakan negara (Act of State Doctrine) atau imunitas sekunder, bahwa tindakan suatu negara akan diakui sebagai tindakan dalam kapasitasnya (iure imperii) jika tindakan tersebut dilakukan dalam yurisdiksinya. Dan tindakan di dalam wilayah yurisdiksi tersebut akan menjadi ukuran apakah merupakan tindakan iure imperii atau iure gestiones.
Daftar Pustaka:
Andras Bragyova, Reflection Immunity of State from the Point of View of International Law, in Question of International Law, Hanna Bokor-Szego ed., Kluwer, 1986
Bistline-Loomis, The Foreign Soverign Immunities Act in Practice, AJIL vol. 73, 1979
D.P. O’Connel, International Law, London, 1965
Gerald Fitzmaurice, State Immunity from Proceedingin Foreign Courts, BYIL vol.14/1933
Gerald von Glahn, Law Among Nation, New York, 1981
Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Clarendon Press, London, 1990
Ita Gambiro, Perjanjian Lisensi dan Technical Assistence, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 1990
JHL Morris, Cases on Private International Law, London, 1960
Michael Singer, The Act of State Doctrine of the United Kingdom an Analysis With Comparison to United States Practice, AJIL 75/1981
Michael Zander, The Act of State Doctrine, in The International Law in Twentieth Century, New York, 1966
Mochtar Kusumaatmadja & Eti R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni Bandung, 2003,
Putusan United States Court of Appeal, 5th, circuit, Aprl. 25-1979
Richard Falk, The Role of Domestic Courts in International Legal Order, Cyracus, 1964
Sompong Sucharitkul, Immunities of Foreign State before National Authorities, Collected Course HAIL, Leiden, 1976
Sompong Sucharitkul, Immunities of Foreign State Before National Authorities, NILR vol.10, 1976
Sudargo Gautama, Hukum Perdata dan Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1980
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Binacipta, Jkt, 1976
Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Internasional Pada Nasionalisasi di Indonesia, Alumni, 1975
United States; Foreign Soverign Immunities Act 1976.
UU No. 25 tahun 20077 tentang Penanaman Modal.
W. Friedmann, Some Impact of Social Organization on International Law, AJIL vol.50
PP No. 6 tahun 1999 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan dar Hutan Industri.
Subyek & Obyek Hukum
- Subyek Hukum :
- Manusia
Perihal kematian perdata yang bunyinya : jo UUDS th 1950 pasal 15. Tiada suatu hukum pun mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak – hak kewarganegaraan.
Hanyalah mungkin seorang terhukum dicabut hak – haknya, contohnya kekuasaannya sebagai orang tua terhadap anak – anaknya, kekuasaannya sebagai wali, haknya untuk bekerja pada angkatan bersenjata dan sebagainya.
Berlakunya seseorang sebagai subyek hukum (pembawa hak) yaitu pada saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat orang tersebut meninggal.
Ada beberapa golongan yang oleh Undang – Undang telah dinyatakan tidak cakap atau kurang cukup untuk melakukan sendiri perbuatan – perbuatan hukum itu. Mereka itu adalah :
1) Orang – orang yang belum dewasa atau masih di bawah umur.
2) Orang – orang yang dibawah pengawasan (curatele) yang selalu harus diwakili oleh orang tuanya, walinya atau kuratornya.
- Badan Usaha
Mengenai sandera ini Undang – Undang bersikap banci, yaitu ada peraturan Undang – Undang yang membenarkan sandera seperti kita lihat dalam pasal 209 ayat 1 RIB/HIR dan Undang – Undang No. 49/1960 (PUPN boleh melakukan sandera terhadap orang yang tidak mau membayar terhadap kembali hutangnya kepada negara). Sedangkan Undang – Undang yang lainnya tidak membenarkan sandera seperti SEMA No. 2/1964 (tentang penghapusan sandera) dan Undang – Undang pokok kekuasaan kehakiman No. 14 tahun 1970 (Hakim harus mengindahkan perikemanusiaan dan perikeadilan dalam menjalankan keputusannya, pasal 33 ayat 4).
Juga orang yang dinyatakan pailit oleh pengadilan, ia kehilangan hak untuk berbuat bebas atas barang – barangnya yang diletakkan di bawah pengawasan pengadilan, barang – barang mana menjadi tanggungan hutang – hutangnya.
Seorang yang dinyatakan pailit kehilangan hak untuk berbuat bebas atas harta kekayaannya. Ini berarti ia tidak dibenarkan untuk mengasingkan (menjual, menukarkan, menghibahkan atau mewariskan harta kekayaannya).
- Obyek Hukum
Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen) adalah suatu benda yang sifatnya dapat dilihat, diraba, dirasakan dengan panca indera, terdiri dari benda berubah / berwujud, meliputi :
- Benda bergerak, berupa benda yang dapat dihabiskan, dan
- Benda tidak bergerak, benda yang tidak dapat dihabiskan.
- Benda bergerak karena sifatnya, menurut pasal 509 KUH Perdata adalah benda yang dapat dipindahkan, misalnya meja, kursi, dan yang dapat berpindah sendiri contohnya ternak.
- Benda bergerak karena ketentuan undang-undang, menurut pasal 511 KUH Perdata adalah hak-hak atas benda bergerak, misalnya hak memungut hasil (Uruchtgebruik) atas benda-benda bergerak, hak pakai (Gebruik) atas benda bergerak, dan saham-saham perseroan terbatas.
Benda tidak bergerak dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :
- Benda tidak bergerak karena sifatnya, yakni tanah dan segala sesuatu yang melekat diatasnya, misalnya pohon, tumbuh-tumbuhan, area, dan patung.
- Benda tidak bergerak karena tujuannya yakni mesin alat-alat yang dipakai dalam pabrik. Mesin senebar benda bergerak, tetapi yang oleh pemakainya dihubungkan atau dikaitkan pada bergerak yang merupakan benda pokok.
- Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang, ini berwujud hak-hak atas benda-benda yang tidak bergerak misalnya hak memungut hasil atas benda yang tidak dapat bergerak, hak pakai atas benda tidak bergerak dan hipotik.
- Pemilikan (Bezit)
- Penyerahan (Levering)
- Daluwarsa (Verjaring)
- Pembebanan (Bezwaring)
- Hak Kebendaan yang Bersifat Sebagai Pelunasan Hutang (Hak Jaminan)
Pelunasan hutang dengan jaminan umum didasarkan pada pasal 1131KUH Perdata dan pasal 1132 KUH Perdata.
Dalam pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan bahwa segala kebendaan debitur baik yang ada maupun yang akan ada baik bergerak maupun yang tidak bergerak merupakan jaminan terhadap pelunasan hutang yang dibuatnya.
Sedangkan pasal 1132 KUH Perdata menyebutkan harta kekayaan debitur menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua kreditur yang memberikan hutang kepadanya.
Pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yakni besar kecilnya piutang masing-masing kecuali diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.
Dalam hal ini benda yang dapat dijadikan pelunasan jaminan umum apabila telah memenuhi persyaratan antara lain :
- Benda tersebut bersifat ekonomis (dapat dinilai dengan uang).
- Benda tersebut dapat dipindah tangankan haknya kepada pihak lain.
Pelunasan hutang dengan jaminan khusus merupakan hak khusus pada jaminan tertentu bagi pemegang gadai, hipotik, hak tanggungan, dan fidusia.
- Gadai
Selain itu memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang dan biaya yang telah di keluarkan untuk memelihara benda itu dan biaya-biaya itu didahulukan.
Sifat-sifat Gadai yakni :
- Gadai adalah untuk benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
- Gadai bersifat accesoir artinya merupakan tambahan dari perjanjian pokok yang di maksudkan untuk menjaga jangan sampai debitur itu lalai membayar hutangnya kembali.
- Adanya sifat kebendaan.
- Syarat inbezitz telling, artinya benda gadai harus keluar dari kekuasaan pemberi gadai atau benda gadai diserahkan dari pemberi gadai kepada pemegang gadai.
- Hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri.
- Hak preferensi (hak untuk di dahulukan).
- Hak gadai tidak dapat di bagi-bagi artinya sebagian hak gadai tidak akan menjadi hapus dengan di bayarnya sebagaian dari hutang oleh karena itu gadai tetap melekat atas seluruh bendanya.
Hak pemegang gadai yakni si pemegang gadai mempunyai hak selama gadai berlangsung :
- Pemegang gadai berhak untuk menjual benda yang di gadaikan atas kekuasaan sendiri (eigenmachti geverkoop).
- Pemegang gadai berhak untuk mendapatkan ganti rugi berupa biaya-biaya yang telah dilakukan untuk menyelamatkan benda gadai .
- Pemegang gadai mempunyai hak untuk menahan benda gadai (hak retensi) sampai ada pelunasan hutang dari debitur (jumlah hutang dan bunga).
- Pemegang gadai mempunyai prefensi (hak untuk di dahulukan) dari kreditur-kreditur yang lain.
- Hak untuk menjual benda gadai dengan perantara hakim jika debitur menuntut di muka hukumsupaya barang gadai di jual menurut cara yang di tentukan oleh hakim untuk melunasi hutang dan biaya serta bunga.
- Atas izin hakim tetap menguasai benda gadai.
- Hipotik
Sifat-sifat hipotik yakni :
- Bersifat accesoir yakni seperti halnya dengan gadai.
- Mempunyai sifat zaaksgevolg (droit desuite) yaitu hak hipotik senantiasa mengikuti bendanya dalam tagihan tangan siapa pun benda tersebut berada dalam pasal 1163 ayat 2 KUH perdata .
- Lebih didahulukan pemenuhanya dari piutang yang lain (droit de preference) berdasarkan pasal 1133-1134 ayat 2 KUH perdata.
- Obyeknya benda-benda tetap.
Sebelum dikeluarkan undang-undang No.4 tahun1996 hipotik berlaku untuk benda tidak bergerak termasuk tanah namun sejak di keluarkan undang-undang No.4 tahun1996 tentang hak tanggungan atas tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan berlakunya undang-undang HT maka obyek hipotik hanya meliputi hal berikut :
- Kapal laut dengan bobot 20 m³ ke atas berdasarkan pasal 509 KUH perdata, pasal 314 ayat 4 KUH dagang dan undang-undang N0.12 tahun 1992 tentang pelayaran sementara itu kapal berdasarkan pasal 509 KUH perdata menurut sifatnya adalah benda bergerak karena bisa berpindah atau dipindahkan sedangkan berdasarkan pasal 510 KUH perdata kapal-kapal, perahu-perahu, perahu tambang, gilingan-gilingan dan tempat pemandian yang di pasang di perahu atau berdiri terlepas dan benda-benda sejenis itu adalah benda bergerak.
kapal terbang dan helikopter berdasarkan undang-undang No. 15 tahun 1992 tentang penerbangan dalam hukum perdata status hukum pesawat udara adalah benda tidak bergerak, dengan demikian setiap pesawat terbang dan helikopter dioperasikan harus mempunyai tanda pendaftaran yang berlaku di Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)